Oleh : Samsul
Pasaribu*
Secara khusus tentunya tulisan
ini penulis tujukan buat dua daerah kembar identik serumpun Sibolga dan
Tapanuli Tengah. Sebagai daerah serumpun, sejatinya problematika penyelesaian
konflik di daerah ini lebih cepat teratasi dan tidak terkesan berlarut-larut.
Namun, ego kepemimpinan sebagai raja-raja kecil di daerah cenderung lebih
mendominasi ketimbang mengapresiasi keinginan berubah dan berkembang dari
warganya yang konon katanya telah lama menginginkan adanya pemekaran wilayah.
Maksimalisasi pemekaran Sibolga dan Tapanuli Tengah |
Belakangan ini, wacana pemekaran
Kabupaten Tapanuli Tengah kembali digulirkan. Bupati Tapteng saat ini pun dinilai
cukup aspiratif walaupun masih dibarengi beberapa catatan. Seperti issu
pemekaran ini misalnya. Statemen yang mengatakan “dibangun dulu baru
dimekarkan” disatu sisi bisa dipandang sebagai kepedulian namun disisi lain
tidak salah kiranya bila penulis melihatnya sebagai upaya menarik ulur
kepentingan. Karena membangun secara bersama-sama tentulah tidak sama dengan
sama-sama membangun. Membangun bersama identik menyelesaikan satu masalah
secara bersama-sama. Akan tetapi bersama-sama membangun didalamnya terselip
pesan moral bahwa kita menyelesaikan banyak masalah dengan bersama-sama.
Sederhananya adalah, Tapanuli tengah silahkan membangun dan hal yang sama juga
dilakukan oleh daerah pemekarannya.
Seperti diutarakan diatas bahwa
Sibolga dan Tapanuli Tengah adalah daerah kembar identik serumpun. Karena
keduanya memiliki budaya, adat istiadat dan tradisi yang sama. Dari kacamata
sejarah pun kedua daerah ini saling melengkapi. Apalagi, khususnya Sibolga
pernah menjadi ibukota keresidenan Tapanuli. Beranjak dari hal sederhana ini
saja maka kita harus bersepakat dulu bahwa Membangun
Sibolga berarti juga membangun Tapanuli Tengah begitu juga sebaliknya. Dua
daerah yang satu dalam budaya dan sejarah sejatinya harus satu pula dalam
konsep pembangunannya terutama yang berhubungan langsung kepada kepentingan
rakyat banyak dan mengejar ketertinggalan kedua daerah dari Kabupaten/ Kota
lainnya di Indonesia. Maka dengan demikian, issu pemekaran Kabupaten Tapanuli
Tengah dipandang menjadi bagian dari issu perluasan Kota Sibolga.
Secara otonom adalah benar
masing-masing daerah berhak atas urusan rumah tangganya sendiri. Akan tetapi
tidak bisa dilupakan bahwa keduanya masih menjadi bagian NKRI. Keduanya juga
tidak menjadi otonom dalam mencapai kesejahteraan. Sehingga tidak ada larangan
warga Tapanuli Tengah bekerja dan menggantungkan hidupnya di Sibolga begitu
juga sebaliknya. Oleh karena itu karena pemekaran (katanya) tujuannya adalah
mempercepat terwujudnya pembangunan dan muaranya adalah kesejahteraan dimana
itu bukan hanya menjadi hak warga Tapanuli Tengah saja melainkan juga warga
negara lainnya termasuk Sibolga adalah wajar pula bila memang bersama-sama
memikirkan kesejahteraan itu maka bersama-sama pulalah merumuskan issu
pemekaran yang sedang marak kembali diceritakan.
Dilihat dari luas wilayah yang
ada dan posisi kota Sibolga yang diapit oleh Kabupaten Tapanuli Tengah andai
pemekaran seperti yang diwacanakan sekarang ini dimana Kabupaten Tapanuli
Tengah dipecah menjadi dua daerah otonom yaitu Kab. Tapteng dan Kab. Barus Raya
maka Sibolga sebagai Kota yang memisah keduanya akan semakin sulit memdapatkan
perluasan daerah. Sejatinya, memekarkan Tapanuli Tengah harus memandang utuh
dimana Sibolga (seolah-olah) bagian dari pemekaran itu.
Maka dalam kacamata penulis,
memandang Sibolga Tapteng dalam kacamata yang utuh akan mengantarkan kita
kepada satu titik bahwa pemekaran itu harus menjadi tiga daerah otonom yaitu
Kabupaten Tapanuli Tengah (terdiri dari 7 kecamatan), Kota Sibolga (menjadi 7
kecamatan) dan Kabupaten Barus Raya (terdiri dari 10 kecamatan).
Kecamatan-kecamatan yang berada di kabupaten induk (Kab. Tapteng) diantaranya
meliputi kec. Pandan, Kec. Tukka, Kec. Pinang Sori, Kec. Badiri, Kec. Lumut,
Kec. Sibabangun, dan Kec. Sukabangun.
Sedangkan yang berada di wilayah kabupaten pemekaran (Kab. Barus Raya) adalah
kec. Manduamas, Kec. Sirandorung, Kec. Andam Dewi, Kec. Barus Utara, Kec.
Barus, Kec. Sosor Gadong, Kec. Pasaribu Tobing, Kec. Sorkam, Kec. Sorkam Barat
dan Kolang. Sedangkan sisanya yaitu kec. Tapian Nauli, Kec. Sarudik dan Kec.
Sitahui bergabung kedalam wilayah Kota Sibolga.
Pertanyaanya, kenapa Sibolga
harus masuk dalam konsep pemekaran Tapanuli Tengah. Jawabannya adalah karena
Sibolga dari letak geografisnya dan luas wilayahnya sangat wajib mendapat
perhatian daerah tetangganya. Karena andai Sibolga dikesampingkan itu sama saja
artinya membunuh secara perlahan-lahan kesinambungan Kota Sibolga dimasa yang akan datang dan tidak tertutup
kemungkinan Sibolga menjadi kota yang sumpek, kumuh dan padat karena keterbatasan
wilayah. Hal in dikarenaka tingginya semangat untuk membangun tidak sejalan
dengan luasnya daerah yang ingin dibangun. Itulah sebabnya, Penulis melihat
Sibolga harus terlibat dan dilibatkan dalam wacana pemekaran Tapanuli Tengah.
Pola berpikir sederhananya adalah
mengerjakan sebuah bangunan tentu akan lebih efektif bila dikerjakan secara
bersama-sama diwaktu yang sama dengan pembagian tanggungjawab yang berbeda dan
anggaran yang berbeda pula ketimbang dikerjakan bersama dalam satu komando,
waktu yang berbeda dan anggaran yang terbatas. Begitu jugalah halnya dengan
konsep pemekaran Sibolga- Tapanuli Tengah. Kebersamaan yang selama ini
dijunjung dan diagung-agungkan oleh kedua daerah sejatinya harus terlihat nyata
dalam setiap pengambilan kebijakan kedua daerah.
Ini sebenarnya tantangan bagi
siapa saja. Bukan hanya bagi setiap kepala daerah tetapi juga bagi saya, anda
dan mereka (yang bergabung karena dampak perluasan). Kebersamaan jangan hanya
terlihat dalam kasat mata dan terukur. Indikator kebersamaan tidaklah
ditentukan oleh rumah dinas bupati Tapteng berada di Sibolga sementera
pemerintahannya di Pandan atau kebersamaan tidak bisa dinilai dari pidato
setiap kepala daerah bahwa Sibolga Tapteng adalah bersaudara. Akan tetapi
kebersamaan haruslah tercermin dalam konsep nyata menuju kesejahteraan secara
bersama-sama.
Besarnya kekuasaan kepala daerah
juga, tidaklah diukur dari berapa banyak kecamatan yang dia bawahi, berapa luas
wilayah dan berapa jumlah penduduknya. Walikota Sibolga sekecil apa pun itu dan
sebanyak apa pun penduduknya tetaplah sama dengan Walikota di Jakarta, di
Nabire, di Palembang atau di Medan. Dalam kacamata undang-undang mereka sama
dan sejajar. Tapi bila kita mengukur kebesaran seorang kepala daerah
berdasarkan sumber penghasilan maka kita harus bersepakat dulu apakah jabatan
kepala daerah sebagai pekerjaan atau pengabdian?
Membagi Kabupaten Tapanuli Tengah
menjadi tiga daerah otonom dimana Sibolga termasuk didalamnya karena imbas
perluasan daerah, maka kedepan pembangunan dimasing-masing daerah pemekaran
terasa lebih efektif dan efesien. Dimensi waktu, jarak dan lain sebagainya
tidak menjadi penghalang utama dalam melakukan pembangunan dan menjalin
komunikasi bahkan hingga kedaerah pedalaman sekali pun.
Selama ini, khususnya di
Kabupaten Tapanuli Tengah menuju daerah
pedalaman memakan waktu 3 sampai 5 jam. Hal ini dikarenakan sarana transportasi
yang belum memadai bahkan jauh dari kata cukup ditambah lagi jarak tempuh yang
jauh. Dengan konsep pembangunan berbasis pemekaran ini jarak tempuh ke
masing-masing kecamatan bahkan hingga daerah pedalam dapat dipangkas hingga 1
sampai 2 jam saja. Hal ini dikarenakan jarak ibu kota kemasing-masing kecamatan
sudah cukup strategis. Kedepan tentunya, dengan prinsip sama-sama membangun maka
masing-masing daerah tidak lagi menunggu giliran dan disibukkan dengan
musrenbang di satu kabupaten/ kota. Akan tetapi masing-masing sudah bisa
berkonsentrasi di daerah masing-masing sehingga tingkat ketercapaian
pembangunan akan semakin cepat terwujud.
Semoga
*penulis adalah ketua umum PB Gerakan Mahasiswa Sibolga-Indonesia (Germasi)
No comments:
Post a Comment