Selamat Atas Peluncuran Majalah Online GERMASI "IDEALIS", Terbit Tanggal 5 Setiap Bulan. Jangan Sampai Ketinggalan

Tuesday, February 8, 2011

Wacana Perubahan Slogan Sibolga dinilai tidak argumentatif

Minggu 06 Februari 2011
Sibolga-Metro
Adanya wacana perubahan slogan (bukan motto seperti yang disebutkan para tokoh) kota Sibolga merupakan sesuatu yang salah kaprah. Karena antara kata slogan dengan motto merupakan dua kata yang punya makna yang berbeda. Hal ini disampaikan ketua umum PB Germasi Samsul Pasaribu didampingi kepala Departemen Seni dan Kebudayaan Monika Elfi Sitompul kepada Metro Jumat/04/2011. Wacana yang digulirkan oleh sebahagian kecil tokoh Sibolga ini telah dibahas secara mendalam oleh Germasi melalui media jejaring sosial facebook sejak pertama sekali digulirkan hingga sampai pada satu kesimpulan Seluruh mahasiswa asal Sibolga menyesalkan wacana ini dan dianggap hanya cari sensasi.

Menurut Samsul, para tokoh yang mencoba mewacanakan ini terjebak oleh kata moto/motto dan slogan. bila ditelaah dalam kamus besar bahasa Indonesia, kalimat “Sibolga Negeri Berbilang Kaum atau Siboga Nagari Badusanak Saiyo Sakato” tidak masuk dalam kategori motto. Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) dengan jelas diterangkan bahwa moto (motto) adalah frasa/kata yang digunakan sebagai semboyan, pedoman atau prinsip. Motto juga biasanya terdiri dari 2 sampai dengan 3 kata misalnya “berani karena benar” atau “yakin usaha sampai”. Maka jika para tokoh mewacanakan pergantian motto Sibolga saat ini maka salah besar bila yang diganti adalah kalimat “Sibolga negeri berbilang kaum” karena sesuai dengan defenisi moto/motto tadi kalimat ini tidak masuk kategori moto/motto. Sejatinya, jika memang ingin merubah motto Sibolga yang diganti bukan negeri berbilang kaum akan tetapi motto Sibolga saat ini yaitu “Saiyo Sakato”. Motto ini sendiri telah ditetapkan sejak tahun 2002 bersamaan dengan penetapan maskot kota Sibolga berupa 2 ekor ikan aso-aso diatas curano bertuliskan saiyo sakato dalam sayembara yang diselenggarakan pemko Sibolga dan saat itu sayembara dimenangkan oleh saudara Nuzar Carmina.
Masih menurut Samsul, kalimat “Sibolga negeri berbilang kaum” tidak masuk dalam kategori moto/motto melainkan slogan. Dalam KBBI diterangkan bahwa slogan merupakan kalimat pendek yang menarik atau mencolok dan mudah di ingat untuk memberitahukan sesuatu. Dengan demikian yang membedakan slogan dengan motto ada pada pesan moral kalimat yang coba disampaikan pada orang lain.Contoh slogan ini sendiri adalah disamping slogan kota Sibolga saat ini “Negeri Berbilang Kaum” termasuk juga slogan beberapa daerah di Sumatera Utara.
Pria yang sekarang menempuh pendidikan S1 di Bandung Jawa Barat ini juga menuturkan bahwa adalah hak setiap orang untuk berpendapat, menyampaikan saran dan usulan. Akan tetapi setiap statemen yang dilontarkan harus berdasarkan fakta yang sesungguhnya apalagi bila kontek pembicaraannya erat kaitannya dengan sejarah. “Bicara sejarah itu bukan hal yang mudah, harus ada fakta2 yang dikemukakan dan bila memungkinkan pelaku sejarah juga harus dihadirkan” terang Samsul. Saat ini wacana perubahan sloga Sibolga oleh mahasiswa Sibolga dinilai tidak argumentatif. Mencontohkan keadaan Sibolga dengan Jakarta dan beberapa daerah lainnya di Indonesia merupakan sesuatu yang sangat dipaksakan. Apalagi adanya statemen bahwa sejak dahulu slogan Sibolga adalah “Siboga Nagari Badusanak Saiyo Sakato” juga perlu sekali dikuatkan dengan bukti-bukti otentik. Samsul juga menegaskan bahwa pandangan yang mengatakan penduduk yang bertama sekali menghuni Sibolga adalah masyarakat pesisir sesuatu yang perlu ditinjau kembali. Karena identitas pesisir tidak dilihat dari masyarakat yang menghuninya akan tetapi murni dipengaruhi oleh letak geografis daerahnya. Karena fakta sejarah telah membuktikan penduduk asli Sibolga adalah para pendatang yang kemudian membuka pemukiman. Dengan demikian jauh sebelum mereka datang Sibolga berdasarkan letak geografisnya memang merupakan daerah pesisir.
Adanya keinginan bahwa perubahan itu dalam rangka menggali sejarah Sibolga ratusan tahun silam, Samsul menegaskan bahwa pola pikir seperti ini merupakan salah satu faktor lambatnya satu daerah beradaptasi dengan perkembangan zaman. “Harus ditegaskan bahwa setiap zaman ada orangnya dan setiap orang ada zamannya. Yang terpenting adalah setiap orang di zaman apa pun itu harus bisa membuat sejarah. Sehingga sejarah masa lalu harus disikapi sebagai batu loncatan untuk mengukir sejarah baru, karena pada prinsipnya tidak ada gagasan baru dalam kehidupan manusia sekarang, semua gagasan-gagasan itu adalah hasil dari menggagas kembali yang disesuaikan dengan perkembangan zaman” katanya mengakhiri.

No comments:

Post a Comment