Kamis, 29 September 2011
Mau tau siapa saja orang yang paling peduli dengan daerah kita?
Jawabannya lihat saja setiap tokoh yang mencalonkan diri jadi kepala
daerah. Kalau konteksnya nasional, maka setiap calon presiden yang maju
akan mengklaim sebagai sosok yang paling peduli, paling tahu dan paling
memahami kondisi bangsa ini. Tapi benarkah demikian? Jawabannya tidak.
Tentunya kata “tidak” ini disesuaikan dengan kondisi bangsa kita saat
ini. Kata “tidak” ini juga tentu ada pengecualian khususnya untuk
beberapa daerah yang memang kebetulan tuhan menganugerahkan kepada
mereka kepala daerah yang benar-benar amanah.
Oleh: Samsul Pasaribu
Judul tulisan kali ini sengaja penulis beri “Kepedulian Setengah Hati”. Hal ini karena rasa penasaran yang besar terhadap beberapa daerah yang sebenarnya sudah diketahui letak permasalahannya tapi tak kunjung bisa diselesaikan. Sibolga misalnya. Kota terkecil di Indonesia ini ternyata tidak punya sedikit masalah. Justru sebaliknya. Kendati kecil, namun berbagai permasalahan acap kali tidak bisa terselesaikan hingga saat ini. Mulai dari minimnya hasil tangkapan para nelayan khususnya nelayan tradisional, hasil UN yang masih menjadi tanda tanya besar, pembangunan sarana olahraga di Aek Parombunan yang tak tahu kapan akan usai, dan sarana transportasi yang carut marut, serta praktik-praktik korupsi yang menggurita hingga level bawahan. Semua tumbuh dan berkembang tanpa pernah ada pihak-pihak yang serius untuk mencoba (hanya mencoba saja) untuk menghentikannya.
Daerah tetangganya demikian juga halnya. Hampir dalam kurun waktu 10
tahun belakangan ini. Tapanuli tengah nyaris tidak tersentuh oleh
pembangungan apa pun. Bahkan ibukota kabupaten ini sendiri tak obahnya
seperti daerah pendalaman yang jauh dari kesan pembangunan. Katanya
(mungkin) bupati sebelumnya disibukkan oleh proyek-proyek besar yang
hanya menguntungkan orang-orang besar juga. Bahkan, pasca tidak menjabat
lagi, ada banyak warisan permasalahan yang diturunkan kepada
penerusnya. Artinya, masalah yang lama belum terselesaikan kini Bupati
yang baru telah mengusung program kerja baru yang tentunya akan menjadi
prioritas pula untuk dikerjakan.Oleh: Samsul Pasaribu
Judul tulisan kali ini sengaja penulis beri “Kepedulian Setengah Hati”. Hal ini karena rasa penasaran yang besar terhadap beberapa daerah yang sebenarnya sudah diketahui letak permasalahannya tapi tak kunjung bisa diselesaikan. Sibolga misalnya. Kota terkecil di Indonesia ini ternyata tidak punya sedikit masalah. Justru sebaliknya. Kendati kecil, namun berbagai permasalahan acap kali tidak bisa terselesaikan hingga saat ini. Mulai dari minimnya hasil tangkapan para nelayan khususnya nelayan tradisional, hasil UN yang masih menjadi tanda tanya besar, pembangunan sarana olahraga di Aek Parombunan yang tak tahu kapan akan usai, dan sarana transportasi yang carut marut, serta praktik-praktik korupsi yang menggurita hingga level bawahan. Semua tumbuh dan berkembang tanpa pernah ada pihak-pihak yang serius untuk mencoba (hanya mencoba saja) untuk menghentikannya.
Kedua daerah ini mungkin bisa dijadikan potret beberapa daerah lainnya di Indonesia. Pertanyaannya kenapa jadi seperti ini? Bukankah pada saat pencalonan mereka mengklaim sebagai orang yang paling cinta dan paham dengan daerahnya? Lalu kenapa, kecintaan itu ternyata tidak terbukti dengan karya-karya nyata. Benarkah para kepala daerah menjadikan jabatannya sebagai jalan untuk mengabdikan diri atau menjadi jalan untuk mencari pekerjaan. Karena antara bekerja dan mengabdi adalah dua hal yang sangat jauh berbeda. Mengabdi akan mengorientasikan semua tidak tanduknya untuk kepentingan rakyat sedangkan jika bekerja maka semua tidak tanduknya akan di orientasikan pada nilai rupiah sebagai mata pencahariannya.
Dari kacamata penulis. Hingga saat ini kepedulian setiap kepala daerah masih setengah hati. Disebut setengah hati karena setiap kepala daerah belum ada satu pun yang benar-benar serius untuk memajukan daerahnya. Yang ada masalah selama menjabat setiap kepala daerah membangun citra yang baik dan berwibawa ditengah-tengah rakyat yang dipimpinnya tak peduli apakah hasil pengabdiannya dinikmati rakyat atau tidak.
Di Sibolga misalnya. Jangankan untuk melakukan pembangunan disegala bidang, Walikotanya justru tampil berlebihan. Layaknya kepala Negara sang Walikota justru dikawal oleh voredes kemana-mana. Padahal, sejak Republik ini berdiri kepala daerah disibolga hanya dikawal dua kali dalam setahun yaitu pada saat peringatan detil-detik proklamasi RI. Selebihnya walikota bekerja layaknya kepala dinas lainnya. Mungkin, sang walikota terobesei dengan kepala daerah di Jakarta yang setiap hari dihadapkan dengan kondisi Jakarta yang macet (maklum mantan anggota DPR RI). Akan tetapi Sibolga tentu tidak bisa disamakan dengan Jakarta. Jauh sekali bahkan sangat jauh bedanya.
Alhasil, Walikota menjadi warga Negara istimewah yang secara tidak sengaja telah memisahkan dirinya dengan rakyat yang dipimpinnya. Lalu, dimana letak kepedulian mereka saat kampanye dulu. Yang jangankan dapat pengawalan, mereka terkadang marah bila dibatas-batasi bertemu dengan rakyatnya.
Sampai kapan seperti ini. Jawabannya harusnya hanya sampai kita membaca tulisan ini. Selanjutnya, bersama kita berubah. Berubah pola piker. Merubah doktrin lama kepada doktrin baru yang lebih merakyat. Merubah pandangan kita bahwa sebagai kepala daerah kita harus terlihat hebat. Karena untuk hebat kepala daerah dinilai dari pembangunan apa saya yang sudah dia lakukan bukan dari mobil apa yang dia pakai, apa saja isi fasilitas rumah dinasnya atau dengan siapa saja dia pernah bertemu dan berphoto bersama.
Bila benar-benar peduli, setiap kepala daerah harus berani berpihak kepada rakyat kecil. Dan focus kepada satu titik yaitu menyelesaikan permasalah-permasalahan daerahnya dalam kurun waktu yang sesingkat-singkatnya. Bila benar-benar peduli harus berani mengurahi beban anggaran yang tidak penting khususnya untuk acara-acara ceremonial belaka yang tidak ada manfaatnya sama sekali. Misalnya, acara penyambutan kepala daerah ditempat tertentu yang sangat berlebihan, acara pelantikan kepala daerah yang terkesan mubazir atau mungkin biaya perjalanan dinas yang begitu besar padahal setiap daerah sudah memiliki mess dimasing-masing daerah tujuan sehingga untuk apalagi menginap dihotel-hotel mewah.
Mungkinkah ada kepala daerah seperti itu? Tentu saja ada. Kapan? 2014, 2019 dan seterusnya bisa saja sudah ada. Pertanyaannya sudah siapkah kita dipimpin oleh kepala daerah yang seperti itu? Atau jangan-jangan kita malah menyebutnya gila dan kurang kerjaan hanya karena dulunya dilantik dengan sederhana, dinas dalam kota hanya pakai sepeda motor, dan setiap hari libut berbaur dengan masyarakat. Entahlah!
Penulis adalah ketua umum PB Gerakan Mahasiswa Sibolga-Indonesia (GERMASI)
No comments:
Post a Comment