Oleh : Samsul Pasaribu*
Seiring perjalanan waktu, metodologi pendidikan kita sudah banyak berubah. Berbagai macam kurikulum silih berganti sejalan dengan bergantinya para menteri. Resuffle kabinet tidak hanya sebatas mengganti para menteri tapi juga berimbas kepada berubahnya kebijakan pendidikan secara nasional. Tentu saja kalau menteri pendidikan dan kebudayaan turut diganti. Bangsa ini sudah banyak mengenal berbagai kurikulum mulai dari KBK (kurikulum berbasis kompetensi) sampai dengan KTSP (kurikulum tingkat satuan pendidikan). Kemendikbud RI juga tetap setia menerapkan standarisasi ujian nasional walaupun belakangan tidak lagi menjadi faktor utama menentukan lulus tidaknya seseorang karena ujian sekolah setidaknya 40 persen cukup mempengarhui kelulusan dimaksud.
Begitulah setidaknya gambaran umum pendidikan kita secara nasional. Dan maaf sebelumnya, karena penulis bukan pakar pendidikan nasional maka anggaplah tulisan ini sebagai cara pandang orang awam tentang dunia pendidikan kita. Namanya juga orang awam tentu tidak semua yang tertulis dan dibaca benar adanya.
Kembali ketopik. Banyaknya warna metodologi pendidikan yang diterapkan dibangsa ini harus dipandang sebagai upaya pemerintah mencari formula terbaik untuk meningkatkan kualitas SDM Indonesia. Hanya saja, kalau selama 66 tahun mencari formula terus kita jadi bertanya, sebenarnya hilang kemana formula pendidikan itu sehingga begitu sulit kita menemukannya. Atau dengan bahasa nyeleneh-nya kita bertanya, pemerintah serius tidak sih mengurus pendidikan ini?
66 tahun merdeka, tentunya banyak perubahan yang telah terjadi. Perubahan itu tentu sejalan dengan kebutuhan dilapangan. Perubahan kurikulum dari A ke B tentu juga difaktori oleh tuntutan keadaan. Seperti pra-reformasi misalnya, sistem penamaan institusi pendidikan kita pun berubah. Dulu yang namanya SMA sempat berubah menjadi SLTA walaupun belakangan kembali ke SMA. Dulu juga lembaga induknya disebut kementerian pendidikan dan kebudayaan, sejak reformasi dirubah menjadi kementerian pendidikan nasional. Dan sejak 19 Oktober 2011, SBY juga mengembalikan kementerian ini ke nama asalnya yang menggabungkan kembali urusan pendidikan dan kebudayaan dalam satu bendera Tut Wuri Handayani.
Begitu juga dengan program Wajib belajar 9 tahun yang diklaim pemerintah berhasil. Sehingga ditingkatkan menjadi Wajib belajar 12 tahun dan akan dimulai ditahun 2012 ini. Apa pun itu tentunya, setiap individu sejatinya Wajib belajar seumur hidup. Dan yang penting dari wajib belajar itu adalah bagaimana setiap proses yang dilalui lebih mudah tapi bukan dimudah-mudahkan. Kemudahan dalam hal ini mengacu kepada undang-undang dasar kita dimana setiap warga negara berhak mendapakan pendidikan dan pengajaran. Artinya, perampingan urusan dalam menempuh pendidikan mutlak harus dilakukan.
Negara kita mengenal berbagai jenjang pendidikan mulai dari tingkat dasar hingga tingkat perguruan tinggi. Dulu kita kenal betul istilah kelas 1 sampai dengan kelas 6 untuk tingkat sekolah dasar, kelas 1 hingga kelas 3 untuk tingkat menengah pertama (SMP) begitu juga untuk tingkat SMA sederajat. Belakangan, terjadi perubahan peng-kelasan ini. Semangat wajib belajar yang didengungkan pemerintah menjadikan jenjang pendidikan dari dasar hingga SMA satu dalam satu kesatuan. Alhasil, untuk SMP kita sekarang mengenal kelas 7 hingga kelas 9 dan kelas 10 hingga kelas 12 untuk SMA. Ini mungkin upaya pemerintah mewujudkan wajib belajar 12 tahun. Sehingga kewajiban itu diukur mulai dari pendidikan paling dasar hingga menengah atas.
Secara pribadi penulis berpandangan, ini sah-sah saja. Toh, apa pun ceritanya SD tetap 6 tahun, begitu juga SMP dan SMA tetap 3 tahun. Yang perlu diperhatikan adalah, ketika negara telah mewajibkan belajar 12 tahun untuk setiap warga negaranya maka masih perlukan kita disuguhi tiga ijazah disetiap tingkatan? Kongkritnya, sesuai dengan perkembangan jaman dan tuntutan keadaan masihkah negara ini butuh ijazah SD dan izajah SMP? Kita pasti sepakat, sepertinya tidak perlu. Hal ini karena kebutuhan dunia kerja belakangan ini tidak lagi membutuhkan lulusan SD dan SMP. Minimal persyaratan dunia kerja diera reformasi ini adalah lulusan SMA dengan ijazah SMA. Artinya, ijazah SD dan SMP tidak lagi diperlukan. Untuk juru ketik dan tukang antar surat dibeberapa institusi saja sudah harus minimal Diploma-3 atau strata-1. Mungkin hanya menjadi anggota dewan saja yang masih harus minimal lulusan SMA.
Oleh karena itu, pemerintah harus mulai memikirkan langkah-langkah paling efektif agar wajib belajar 12 tahun hanya akan memperoleh 1 ijazah saja. Langkah ini tentu ada sisi positifnya. Diantaranya adalah memaksa setiap warga negara untuk belajar 12 tahun. Karena bila berhenti ditengah jalan, sertifikat dalam bentuk izajah tidak pernah dimiliki. Caranya? Wah, jangan tanya penulis, karena penulis bukan guru besar atau pakar pendidikan. Tapi, sepertinya tidak begitu repot. Kongkritnya adalah, tetap ada pendidikan sekolah dasar, SMP dan SMA. Hanya saja bila selama ini, peralihan dari satu jenjang kejenjang selanjutnya harus menggunakan ijazah, maka untuk kedepannya cukup dengan nilai rapor saja. Sedangkan ijazah hanya diberikan diakhir pendidikan SMA karena berguna ketika yang bersangkutan melanjut ke perguruan tinggi atau dunia kerja. Disamping itu upaya ini bisa meminimalisir pungutan liar (pungli) saat menima ijazah kenaikan jenjang pendidikan. Jadi, wajib belajar 12 tahun dengan satu ijazah kenapa tidak?. Semoga.
*penulis adalah ketua umum PB Gerakan Mahasiswa Sibolga-Indonesia dan penggiat masalah-masalah pendidikan.
No comments:
Post a Comment