Perluasan Sibolga dan Tapteng |
Ada fenomena menarik ditengah-tengah bergulirnya kembali wacana perluasan Sibolga yang ditabuh oleh Wakil Bupati Tapanuli Tengah H.Sukran J Tanjung SE belum lama ini. Fenomena itu adalah munculnya kontroversi atas dukungan sang Wakil Bupati terkait perluasan Sibolga. Parahnya lagi, statemen dukungan itu didengarkan langsung oleh ribuan masyarakat Sibolga. Tidak hanya itu, orang nomor satu di Sumatera Utara ini pun (gubernur-red), juga turut mendengarkan statemen kontroversial sang Wakil Bupati.
Lalu dimana menariknya? Menarik karena pasca dukungan ilegal itu penulis mencoba mencari titik temu beberapa peristiwa secara nasional yang hampir bersamaan terjadinya. Peristiwa itu adalah aksi spontanitas menteri BUMN Dahlan Iskan yang ngamuk di Tol karena menangkap basah antrian panjang digerbang tol lebih dari 5 kendaraan dan issu penamparan petugas lapas yang konon katanya dilakukan oleh Wakil Menteri Hukum dan Ham, Dr.Denny Indrayana dalam sidak pengedar narkoba dari dalam lembaga permasyarakatan.
Dua peristiwa nasional ini yang sempat mengalihkan gejolak kenaikan BBM dan Kasus Korupsi Nazarudin ini punya benang merah dengan kontroversial masyarakat terhadap dukungan Wabup Tapteng akan perluasan Sibolga. Pertanyaannya dimana keterkaitan benang merah itu? Pembaca jangan bingung dulu atau berpikir terlalu sederhana. Benang merah itu bukan karena Menteri BUMN dan Wamenkumham juga turut ribut soal perluasan Sibolga tetapi karena cara masyarakat menilai tindak tanduk pejabat negara ini berbeda ditengah-tengah masyarakat.
Aksi Dahlan Iskan misalnya yang ngamuk digerbang tol. Ribuan masyarakat berdecak kagum. Tidak sedikit pula yang dengan percaya diri mewacanakan Dahlan Iskan For President. Sebahagian besar yang berkomentar mengacungkan jempol seraya berkata inilah contoh pejabat negara yang patut ditiru oleh pejabat negara lainnya. Berbeda dengan apa yang dialami oleh Denny Indrayana (Wamenkumham). Walau masih sebatas issu, tapi cemoohan dan sikap apatis mengalir lancar terhadap Denny atas aksi penamparan petugas lapas dalam sidak narkoba. Padahal tindakan spontanitas itu dilakukan karena petugas lapas dinilai bekerja terlalu lamban sehingga berpotensi lepasnya bukti-bukti yang diharapkan dalam inpeksi mendadak di lapas tersebut. Tetapi apa diyana, aksi sang pejabat yang mau mengurangi waktu tidurnya demi membongkar satu kasus besar yang bisa memutus mata rantai peredaran narkoba ditanah air justru redup ditelan kasus penamparan yang tidak jelas pelakunya siapa. Tindakan spontanitas Denny menggrebek pengedar narkoba dilapas tidak mendapat apresiasi positif dari masyarakat bahkan dari orang-orang cerdas bangsa ini sebutlah para tokoh, pengamat, praktisi dan lain sebagainya.
Pertanyaan selanjutnya adalah kenapa demikian? Lalu apa hubungannya dengan perluasan Sibolga? Bila pembaca dapat mencerna tulisan ini. Sebenarnya saya, anda dan kita semua sudah bisa menarik titik temu peristiwa-peristiwa diatas yaitu pejabat negara yang dengan kepeduliannya menempuh langkah kongkrit untuk bertindak tetapi punya tanggapan yang beragam ditengah-tengah masyarakat. Terkait dengan fenomena Dahlan dan Denny Indrayana, benarkah rasa simpati dan apatis yang muncul murni didorong oleh logika berpikir atas kinerja para pejabat atau karena rasa simpati atau apatis yang tak beralasan. Dengan bahasa yang sederhana, benarkah masyarakat mendukung Dahlan karena memang Dahlan layak melakukan itu atau karena masyarakat sudah terlanjur suka dengan sosok Dahlan? Demikian halnya dengan Denny Indrayana. Faktor kinerjakah atau karena sosok Denny-nya. Coba kita tukar posisi. Bagaimana bila yang melakukan penamparan dilapas tersebut adalah Dahlan Iskan? Tentu pembaca bisa menganalisa respon masyarakat yang muncul.
Demikianlah halnya dengan wacana perluasan Sibolga yang coba ditabuh kembali oleh Wakil Bupati Tapteng. Benarkah penolakan yang senter terpublikasi dimedia karena memang logika kita berkata itu tidak mungkin dilakukan dengan berbagai macam alasan atau karena faktor sang Wakil Bupati? Hal ini menjadi penting, karena nuansa politiknya lebih besar ketimbang murni untuk kepentingan rakyat. Bila ada pihak yang mengklaim bahwa semua demi kepentingan rakyat. Pertanyaanya adalah apakah klaim ini bisa dipertanggungjawabkan dengan ril. Mengingat sejak wacana perluasan yang sudah berusia puluhan tahun ini berhembus tidak ada satu lembaga pun yang melakukan jejak pendapat, angket, atau survey langsung yang hasilnya bisa dipertanggungjawabkan.
Yang terjadi selama ini adalah klaim-mengklaim mengatasnamakan rakyat. Padahal setiap tokoh yang muncul dimedia cetak terkadang tidak dikenal oleh masyarakat yang katanya diwakilinya. Ironisnya lagi, ada anggota legislatif yang berani bersuara bahwa “rakyatnya” menolak bergabung kewilayah tertentu padahal sang legislatif tidak pernah sekalipun terjun langsung dilapangan berdiskusi dengan masyarakat menampung banyaknya aspirasi menerima atau menolak perluasan. Dengan demikian, benarkah penolakan itu karena realitanya masyarakat tidak setuju atau karena sang dewan secara pribadi tidak setuju lalu dengan stempel wakil rakyat muncul kepermukaan atas nama rakyat?
Terjebak dalam eforia perluasan tentu sah-sah saja tetapi cara-cara cerdas dalam mengambil langkah-langkah menyikapinya haruslah diutamakan. Membedakan antara subjek dengan objek haruslah pula dengan nyata dan terang benderang. Menolak perluasan atau setuju perluasan karena sosok tertentu tentulah tidak cerdas. Tetapi penolakan atau persetujuan atas perluasan itu harus berdasarkan argumentasi yang benar-benar berdasarkan perhitungan yang tepat. Apalagi argumen itu terpublikasi dimedia dan dibaca oleh ratusan ribu masyarakat. Tentu argumen yang emosional dan tidak hati-hati secara tidak langsung membodohi ratusan ribu masyarakat demikian pula sebaliknya. Cara-cara cerdas yang terpublikasi menjadi cara lain mencerdaskan masyarakat menyikapi dan menelaah sesuatu.
Belakangan ini, pemaksaan kehendak terasa sekali mewarnai setiap statemen yang mucul dimedia massa menyikapi perluasan. Maka, alangkah baiknya setiap orang yang merasa tidak memiliki wewenang, pengetahuan dan argumentasi konstruktif yang bisa dipertanggungjawabkan menahan diri untuk berpendapat. Kasihan rakyat. Mereka telah disibukkan oleh berbagai kasus secara nasional kini kita muncul dimedia bercerita kehendak kita atas nama rakyat. Wallau’alam.
No comments:
Post a Comment