Oleh : Samsul Pasaribu*
Anda
Fobia terhadap sesuatu? Tidak usah khawatir karena tulisan kali ini tidak
bercerita tentang rasa ketakutan pembaca terhadap tikus, nenas, pisang, pintu,
lift atau apa pun itu. Kali ini penulis hanya ingin berbagi informasi perihal
Fobia yang belakangan ini sering mengidap para penguasa kita. Apa itu? Fobia
terhadap kritik.
Sebelum
kita berbicara tentang benang merah antara fobia, kritik dan penguasa ada
baiknya penulis menjelaskan lebih dahulu apa itu Fobia. Dalam Wikifedia
dijelaskan bahwa Fobia (gangguan anxietas fobik) adalah rasa
ketakutan yang berlebihan pada sesuatu hal atau fenomena.
Fobia bisa dikatakan dapat menghambat kehidupan orang yang mengidapnya. Bagi
sebagian orang, perasaan takut seorang pengidap Fobia sulit dimengerti. Itu
sebabnya, pengidap tersebut sering dijadikan bulan bulanan oleh teman
sekitarnya.
Ada perbedaan "bahasa" antara pengamat
fobia dengan seorang pengidap fobia. Pengamat fobia menggunakan bahasa logika
sementara seorang pengidap fobia biasanya menggunakan bahasa rasa. Bagi
pengamat, dirasa lucu jika seseorang berbadan besar, takut dengan hewan kecil
seperti kecoak
atau tikus.
Sementara di bayangan mental seorang pengidap fobia subjek tersebut menjadi
benda yang sangat besar, berwarna, sangat menjijikkan ataupun menakutkan.
Dalam keadaan normal setiap orang memiliki
kemampuan mengendalikan rasa takut. Akan tetapi bila seseorang terpapar terus
menerus dengan subjek Fobia, hal tersebut berpotensi menyebabkan terjadinya
fiksasi. Fiksasi adalah suatu
keadaan dimana mental seseorang menjadi terkunci, yang disebabkan oleh ketidak-mampuan
orang yang bersangkutan dalam mengendalikan perasaan takutnya. Penyebab lain
terjadinya fiksasi dapat pula disebabkan oleh suatu keadaan yang sangat ekstrem
seperti trauma bom, terjebak lift, dikritik terus
menerus (red) dan sebagainya.
Seseorang yang pertumbuhan mentalnya mengalami
fiksasi akan memiliki kesulitan emosi (mental blocks) dikemudian harinya. Hal
tersebut dikarenakan orang tersebut tidak memiliki saluran pelepasan emosi
(katarsis) yang tepat. Setiap kali orang tersebut berinteraksi dengan sumber
Fobia secara otomatis akan merasa cemas dan agar "nyaman" maka cara
yang paling mudah dan cepat adalah dengan cara "mundur
kembali"/regresi kepada keadaan fiksasi. Kecemasan yang tidak diatasi
seawal mungkin berpotensi menimbulkan akumulasi emosi negatif yang secara terus
menerus ditekan kembali ke bawah sadar (represi). Pola respon negatif tersebut
dapat berkembang terhadap subjek subjek fobia lainnya dan intensitasnya semakin
meningkat. Walaupun terlihat sepele, “pola” respon tersebut akan dipakai terus
menerus untuk merespon masalah lainnya. Itu sebabnya seseorang penderita fobia
menjadi semakin rentan dan semakin tidak produktif. Fobia merupakan salah satu
dari jenis jenis hambatan sukses lainnya.
Dalam
dunia nyata ada dua jenis Fobia. Pertama adalah apa yang disebut dengan Fobia
sosial. Dikenal juga sebagai gangguan anxietas sosial, fobia sosial
adalah ketakutan akan diamati dan dipermalukan di depan publik. Hal ini
bermanifestasi sebagai rasa malu dan tidak nyaman yang sangat berlebihan di
situasi sosial. Hal ini mendorong orang untuk mengindari situasi sosial dan ini
tidak disebebabkan karena masalah fisik atau mental (seperti gagap, jerawat
atau gangguan kepribadian) melainkan cenderung dipengaruhi faktor physicologis
seseorang seperti egois, tamak, serakah dan lain sebagainya.
Yang
kedua adalah Fobia Spesifik. Yaitu Fobia yang ditandai oleh ketakutan yang tidak rasional
akan objek atau situasi tertentu. Gangguan ini termasuk gangguan medik yang
paling sering didapati, namun demikian sebagian kasus hanyalah ringan dan tidak
perlu mendapatkan pengobatan. Pada fobia terjadi salah-pindah kecemasan pada
barang atau keadaan yang mula-mula menimbulkan kecemasan itu. Jadi terdapat dua
mekanisme pembelaan, yaitu salah-pindah dan simbolisasi. Ada banyak macam fobia
yang dinamakan menurut barang atau keadaan. Apabila berhadapan dengan objek
atau situasi tersebut, orang dengan fobia akan mengalami perasaan panik,
berkeringat, berusaha menghindar, sulit untuk bernapas dan jantung berdebar.
Sebagian besar orang dewasa yang menderita fobia menyadari bahwa ketakutannya
tidak rasional dan banyak yang memilih untuk mencoba menahan perasaan anxietas
yang hebat daripada mengungkapkan ganguannya.
Uraian Fobia diatas tentu sudah bisa memberi
pemahaman pada kita bahwa rata-rata raja-raja kecil didaerah telah terjangkit
Fobia Sosial yang rentan terhadap kritik keras terhadap kinerja aparatur
pemerintah. Belakangan ini, banyak raja daerah yang kebakaran jenggot bila
melihat pemberitaan negatif akan kinerja aparaturnya. Bahkan, kelainan Fobia
Sosial ini bisa berubah menjadi Fobia Spesifik dimana para penguasa akhirnya
ketakutan membaca dan menerima informasi dari media baik cetak maupun eletronik
yang kebetulan aktif memberitakan sisi buruk sebuah pemerintahan.
Oleh karena itu, jangan heran kalau dibeberapa
daerah ada kepala pemerintahannya yang melarang beredarnya media tertentu
dilingkungan kerjanya. Bahkan tak jarang pula, kepala daerah memboikot media
tertentu dengan alasan normatif seperti tidak independent, berita tidak
berimbang dan lain sebagainya. Padahal pemboikotan itu sendiri lebih kepada
faktor Fobia terhadap kritik dan media.
Tentu saja sikap dan langkah seperti ini sangat
disesalkan oleh pengamat-pengamat kebijakan termasuk golongan pemuda yang
gelora mudanya pro-aktif bersuara untuk kepentingan rakyat. Karena dalam
kacamata anak muda, termasuk para pengamat kebijakan, Kritik itu sendiri
merupakan bagian dari pembangunan. Jangankan berpikir menurut logika manusia,
ketika Tuhan Yang Maha Esa ingin menciptakan manusia dipermukaan bumi pun,
Malaikat-Nya justru mempertanyakan rencana
itu dan berpandangan bahwa langkah itu justru berdampak negatif terhadap
keseimbangan alam (manusia cenderung merusak-red). Akan tetapi, Tuhan justru
menanggapi kritikan itu dengan bijaksana seraya memberi jaminan kepada makluk
lainnya bahwa Dia lebih tahu daripada para malaikat.
Beberapa waktu yang lalu, penulis kebetulan
mengikuti salah satu acara kepemudaan yang dihadiri oleh kepala daerah
tertentu. Dalam satu kesempatan kepala daerah merasa kontradiktif akan hakekat
pemuda sebagai bagian dari pembangunan dengan pemuda sebagai mitra kritis
pembangunan. Katanya, statemen seperti ini jelas-jelas bertolak belakang oleh
karena disatu sisi pemuda diminta aktif membangun tetapi disisi lain pemuda
justru mengkritik pembangunan itu sendiri. Dengan demikian, secara tegas kepala
daerah meminta kaum muda untuk memilik menjadi bagian dari pembangunan atau
kritikus pemerintah. Jelasnya lagi, sebagai kepala daerah pilihan itu perlu
agar bisa dibedakan mana kawan dan mana lawan.
Tentu saja dalam kacamata penulis, pola pikir
seperti ini tidak tepat seratus persen. Karena seperti dijelaskan diatas,
kritik itu sendiri sebenarya bagian dari pembangunan yang merata dan
berkeadilan. Kritik lahir dalam rangka menyeimbangkan antara kebutuhan
pemerintah dengan rakyat yang dipimpinnya. Bahwa dalam menyampaikan kritik
terkadang melalui cara-cara yang tidak tepat maka itu adalah pilihan objektif
yang dihasilkan kritikus untuk menghasilkan dua manfaat sekaligus dalam
menyampaikan kritik konstruktifnya. Manfaat itu adalah, pesan diterima oleh
penguasa dan masyarakat tahu perkembangan dan realita yang sedang terjadi
sebenarnya.
Sejatinya adalah, kepala daerah membuka diri
terhadap kritik apa pun dan atas kepentingan apa pun juga. Sama halnya dengan
setiap kepala daerah berhak pula untuk menjawab atau tidak sebuah kritik yang
sedang dilontarkan. Akan tetapi sebuah kata bijak sepertinya perlu kita pahhami
bersama bahwa “Jika anda dikritik golongan tertentu maka saat itu sebenarnya
anda sedang diajari untuk saling menghargai”. Oleh karena itulah, berpikir
bersama tentu lebih baik dari pasda berpikir sendiri. Sama halnya dengan
bekerja bersama tentu akan lebih baik dari pada bekerja sendiri.
Penguasa baik pusat maupun hingga kedaerah, tidak
perlu takut yang berujung Fobia terhadap kritikkan dari elemen masyarakat
manapun. Dan penguasa juga tidak perlu mengajak, mendorong atau memobilisasi
golongan tertentu untuk menentukan pilihan tertentu pula seperti yang terjadi
disenayan, apakah mau menjadi bagian koalisi ataukah oposisi. Karena, kekuasaan
yang tanpa kritik cenderung korup. Oleh karena, saya, anda dan kita semua telah
bersepakat kalau pembangunan harus berjalan merata dan berkeadilan, untuk itu
kita perlu kritik konstuktif guna memagari setiap kebijakan yang pro terhadap
pembangunan dan anti terhadap kesewenang-wenangan. Semoga.
Penulis adalah ketua umum PB Gerakan Mahasiswa
Sibolga-Indonesia (Germasi)
No comments:
Post a Comment