Gonjang ganjing masa depan Daerah Istimewa (DI) Jogjakarta, kini diujung tanduk. Soalnya, belakangan ini media sibuk membicarakan keistimewaan propinsi yang pernah menjadi Ibu Kota Negara Republik Indonesia ini. Berbagai pihak pun baik pemerintah maupun lembaga survei lainnya mengklaim punya data yang akurat perihal keingingan masyarakat Jogja sendiri menyikapi wacana istimewanya Jogjakarta Oleh: Samsul Pasaribu
|
Samsul Pasaribu |
Versi pemerintah mengatakan lebih dari 75 persen rakyat Jogjakarta ingin pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) Gubernur dilaksanakan, sedangkan salah satu TV swasta nasional mengatakan ada 89 persen yang mengatakan Sri Sultan otomatis menjadi Gubernur DIY. Ironisnya lagi, pemerintah agaknya berjuang sendiri karena fakta dilapangan menunjukkan hampir tidak ada seorang pun yang setuju bila Yogyakarta tidak lagi istimewah. Padahal, sebenarnya banyak tokoh yang ingin bersuara seperti suara pemerintah tapi mungkin karena tidak aktual jika beda sendiri akhirnya mereka hilang tanpa tertangkap oleh media. Topik andai aku Sri Sultan Hamengkubuwono X sengaja penulis angkat dengan memandang bahwa Indonesia bukan hanya Jogjakarta dan jika melihat latar belakang sejarah, hampir seluruh wilayah nusantara dulunya dibawah pemerintahan raja-raja daerah. Penulis memang awam mengenai sejarah Jogjakarta, namun apa yang terjadi di Jogjakarta dulunya sebenarnya juga terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia. Tapi mengapa kasus Jogjakarta terkesan lebih dari segalanya? Jika aku Sri Sultan maka ada beberapa hal yang berkecamuk dihati menyikapi permasalahan ini. Diantaranya adalah apakah berintegrasinya Jogjakarta ke NKRI dulunya setengah-setengah?. Apakah ketika semua kerajaan yang pernah ada di negeri ini dikisaran tahun 1950-1960 melebur 100 persen dalam bingkai NKRI, Jogjakarta justru tidak hal ini dibuktikan dengan propinsi ini minta istimwah padahal kerajaan yang lain tidak;. Entahlah apa cerita dibalik itu semua. Namun yang jelas, ketika 32 propinsi di Indonesia ini punya aturan yang sama tentang mekanisme pemilukadanya, Yogyakarta justru beda sendiri. Sebagian tokoh berpandangan Jogjakarta layak istimewah karena pernah menjadi ibukota negara ini. Owalah, kenapa salah satu alasannya harus itu. Andai Jakarta itu dekat dengan kota Sibolga Sumatera Utara, pasti pada saat itu bung Karno akan memindahkan ibukota negara ke Sibolga. Artinya apa istimewahnya peristiwa itu. Bukankah itu hanya faktor geografis saja. Daerah mana pun yang paling dekat dengan Jakarta waktu itu tentulah akan menjadi ibukota negara sementara (dalam keadaan genting dan dipandang jauh dari jangkauan musuh).
Wacana gubernur DIY dipilih langsung oleh rakyat atau oleh DPRD propinsi karena faktor sejarah Yogyakarta sebenarnya berpotensi menciptakan konflik di daerah lain dimasa yang akan datang. Kita tahu bahwa hingga saat ini setidaknya ada 30 kerajaan (ikut dalam festival keraton nusantara di Gowa tahun 2008) yang masih aktif di Indonesia dimana masyarakatnya pun mengakui kedaulatan rajanya. Seperti Kesultanan Deli di Medan, Kesultanan Ternate, Kerajaan Gowa di Sultra, Keraton Cirebon, kerajaan Lampung, Palembang dan Bone. Mereka juga punya pengikut namun melepas "kekuasaan" nya sebagai raja dan tulus tanpa kepentingan melebur dalam NKRI. Keberadaan kerajaan ini pun sangat dihormati dan diakui oleh pemerintah tanpa membedakan satu sama lainnya. Menariknya lagi mereka melebur dan patuh terhadap kepala pemerintahan didaerahnya kendati pun itu setingkat walikota. Mungkin mereka berpikir, setiap generasi ada masanya dan setiap masa ada generasi yang akan mengukir sejarah baru. Tapi apakah Sri Sultan HB X juga berpikir seperti itu? Seperti halnya kebangkitan Indonesia banyak dipengaruhi oleh revolusi di Inggris dan Francis, maka kita khawatir upaya tuntutan rakyat Jogjakarta agar di istimewakan akan membangkitkan semangat kerajaan-kerajaan lain di Indonesia yang sekarang masih punya basis pendukung untuk melakukan hal yang sama. Alhasil (katakanlah) 30 kerajaan yang ada sekarang ini ramai-ramai akan minta menjadi daerah istimewah. Jika ini yang terjadi, sia-sialah negara ini berjuang 350 tahun untuk menjadi satu kesatuan negara republik Indonesia jika toh pada akhirnya memisahkan diri kembali menjadi kerajaan-kerajaan. Tidakkah akan lebih baik jika kita berpikir masa depan Jogjakarta 30 dan 100 tahun yang akan datang. Yang mungkin pada saat itu peradaban telah berubah sangat drastis. Akan lebih baik bila Jojakarta kedepannya ditata dalam satu mekanisme yang sama, ketimbang harus memaksakan diri istimewah yang berpotensi memecah belah bangsa ini dimasa yang akan datang. Beranjak dari itu, maka akan lebih baik meniru raja-raja lainnya yang melupakan masa lalu dan menata sistem yang baru dan lebih baik. Seorang teman pernah berseloroh jika di Indonesia ini ada presiden RI, maka Indonesia ini juga punya Gubernur seluruh Indonesia yaitu Sultan Hamengkubuwono X. Apa maksudnya? Entahlah. Yang jelas berdasarkan data statistik per maret 2009-2010 angka penduduk miskin di Jogjakarta masih cukup tinggi. Tercatat 13,98 persen penduduk miskin menyebar di wilayah perkotaan Jogjakarta dan ada 21,95 persen penduduk miskin didaerah pedesaan. Sehingga bila ditotal ada 16,83 persen penduduk miskin yang tersebar di propinsi DI Jogjakarta. Angka ini jauh diatas rata-rata nasional sebesar 13,33 persen penduduk miskin (sumber Berita Resmi Statistik No. 45/07/Th. XIII, 1 Juli 2010). Ini membuktikan Jogjakarta masih masuk dalam 10 propinsi yang berpenduduk Miskin yang persentasenya 16 s/d 36 persen. Artinya Jogjakarta sama dengan beberapa propinsi lain dalam menghadapi penurunan angka kemiskinan. Maka tidakkah akan lebih baik kedepan Gubernur DIY lebih meningkatkan kepeduliannya terhadap masyarakat miskin DIY dan mengurangi aktivitasnya berkunjung kebeberapa daerah di Indonesia. Penulis khawatir gelar gubernur seluruh Indonesia yang sempat di selorohkan oleh teman saya tadi ada hubungannya dengan seringnya Sri Sultan beraktivitas di luar propinsi Jogjakarta yang tidak ada hubungannya dengan jabatannya sebagai gubernur propinsi Daerah Istimewah Jogjakarta. (*) Penulis adalah presiden Mahasiswa kema Ikopin Bandung dan Ketua Gerakan Mahasiswa Sibolga (Germasi)
Tulisan ini juga telah dimuat di Harian Metro Tapanuli edisi Selasa, 14 Desember 2010 |
No comments:
Post a Comment