Selamat Atas Peluncuran Majalah Online GERMASI "IDEALIS", Terbit Tanggal 5 Setiap Bulan. Jangan Sampai Ketinggalan

Friday, December 17, 2010

Subsidi, Kaya versus Miskin?

Subsidi, Kaya versus Miskin? Cetak E-mail
Jumat, 17 Desember 2010


Jika tidak ada aksi people power hingga akhir Desember 2010, agaknya upaya pemerintah mencabut subsidi BBM per Januari 2011 secara bertahap segera terealisasi. DPR pun telah memberi sinyal positif atas kebijakan ini dengan pengecualian fraksi-fraksi yang hingga saat ini setia menyandang status ‘oposisi’.

Oleh: Samsul Pasaribu
Samsul Pasaribu

PERTANYAAN besarnya adalah benarkah penghapusan subsidi BBM ini akan bermanfaat bagi rakyat? Tentu lain yang ditanya maka akan lain pula jawabannya. Namun, sejatinya siapa pun orangnya akan keberatan bilamana BBM yang sekarang ini harganya hanya Rp4500 per liter (solar) menjadi kisaran Rp9.000-10.000 per liter bila subsidi telah dicabut. Lalu menguntungkankah ini? Jika ya, siapa yang diuntungkan? Rakyat? Pengusaha? Orang kaya? Atau mungkin pemerintah?
Tulisan ini mencoba memandang sisi lain dampak dari diberhentikannya subsidi BBM bertahap mulai tahun 2011 nanti. Tentunya cara pandang ini terlepas dari apakah dalam praktiknya kelak akan banyak terjadi penyelewengan. Cara pandang tulisan ini juga berbeda dengan cara pandang lain. Di mana penulis memposisikan diri layaknya orang tak punya dan berusaha menghitung untung ruginya bilamana pemerintah jadi mencabut subsidi BBM ini.
Data statistik BPS tahun 2009-2010 mencatat sebesar 13,33 persen penduduk Indonesia menyebar dari desa hingga ke perkotaan adalah penduduk miskin dan tidak mampu (sumber Berita Resmi Statistik No 45/07/Th. XIII, 1 Juli 2010). Andai 13,33 persen ini kita kalikan dengan 230 juta penduduk Indonesia maka ada sekitar 30.659.000 jiwa penduduk miskin di negeri yang bak jamrud di khatulistiwa ini. Berdasarkan angka di atas, kita sudah bisa menebak bahwa ada 199.341.000 orang yang berpenghasilan menengah ke atas yang jumlahnya 6 kali lipat dari penduduk miskin. Jika data ini dibawa ke ranah kebijakan subsidi dewasa ini (sebelum subsidi dicabut) di mana pemerintah menerapkan subsidi berlaku untuk seluruh golongan, maka sudah bisa pula kita pastikan manfaat subsidi lebih banyak dirasakan oleh kelompok masyarakat yang berpenghasilan lebih dari cukup.

Gambaran di atas masih dari kacamata perbedaan jumlah penduduk Indonesia antara miskin dan kaya. Bila kita menghitung penggunaan BBM selama ini, antara penduduk miskin dengan kaya, maka akan sangat terasa letak ketidakadilan bilamana subsidi disamaratakan dengan segala pranata sosial penduduk negeri ini. Bila diasumsikan, rata-rata penduduk miskin negeri ini menggunakan BBM, baik solar maupun premium 2 liter per harinya dengan harga Rp4.500 per liter dan disubsidi pemerintah sebesar (katakanlah) Rp3000 per liter. Maka dalam satu tahun, orang miskin hanya disubsidi pemerintah sebesar Rp2.160.000 per tahun per-orang. Kini kita bandingkan dengan manfaat subsidi bagi penduduk yang berpenghasilan menengah ke atas. Yang memiliki barang mewah tidak hanya satu atau dua unit, bahkan sebanyak jumlah anggota keluarganya yang keseluruhan tergantung dengan BBM. Asumsikanlah setiap hari penduduk menengah ke atas ini dengan segala barang mewahnya menggunakan 50 liter per hari, maka berarti pemerintah telah memberikan subsidi kepada mereka yang notabenenya mampu sebesar Rp54.000.000 per orang per tahun (bilamana setiap liternya pemerintah memberikan subsidi sebesar Rp3.000/ liter). Ini masih satu orang, bagaimana pula bila satu keluarga terdiri dari 4, 5 atau 6 orang? Pembaca pasti bisa menghitung sendiri besarnya pemerintah mensubsidi kebutuhan BBM mereka. Angka yang sangat signifikan ini tentu menunjukkan ketidakadilan akibat kebijakan subsidi selama ini. Angka ini masih melihat dari satu komoditi yang disubsidi pemerintah. Kita belum menghitung subsidi telepon, listrik, air, dan sebagainya, yang pada akhirnya nanti kita sampai kepada satu kesimpulan bahwa subsidi BBM ala sekarang ini jauh dari azas keadilan.
Dengan demikian, ada setitik harapan yang disandarkan kepada kebijakan pemerintah sekarang ini. Kembali diingatkan, terlepas dari belakangan hari akan terjadi penyelewengan, sepertinya ada setitik keadilan dengan dicabutnya subsidi secara bertahap kelak. Letak keadilan dimaksud dapat terlihat dari peruntukkan subsidi hanya bagi mereka yang berlatar belakang ekonomi lemah. Dan kebijakan subsidi juga hanya bagi mereka yang memiliki kendaraan plat kuning dan plat merah serta orang-orang miskin yang menggunakan sepedamotor sebagai sarana utama untuk mencari nafkah, serta tetap berlaku bagi para nelayan-nelayan tradisional. Artinya (sedikit percaya) pemerintah ingin memberikan langsung manfaat subsidi bagi orang yang benar-benar membutuhkan.
Pemerintah juga mengatakan dicabutnya subsidi BBM per Januari 2011 akan menghemat APBN sebesar Rp3,8 triliun untuk tahun pertama. Angka yang juga sangat besar dan bila diperuntukkan bagi peningkatan kesejahteraan rakyat bisa sangat terasa. Misalnya untuk perbaikan sarana sumber-sumber energi bangsa ini yang sudah lapuk termakan usia, juga diperuntukkan bagi orang-orang miskin dalam bentuk KUR dan bantuan modal usaha lainnya. Andai apa yang dikatakan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Radjasa bahwa distopnya subdisi BBM bisa menghemat APBN dari sektor migas sebesar 40 persen hingga tahun 2013, maka tentu persentase sebesar itu bila diperuntukkan bagi masyarakat tidak mampu, sejatinya pada tahun 2014 tidak ada lagi anak bangsa ini yang tidak sekolah karena ketiadaan biaya, tidak ada lagi orang miskin yang ditolak rumah sakit karena ketiadaan uang, dan angka pengangguran pun dapat diminimalisir karena banyaknya sumber bantuan berwirausaha, serta tidak ada lagi pesawat TNI Polri yang jatuh karena termakan usia.Persoalan subsidi sebenarnya persoalan antara miskin dan kaya. Kita khawatir, adanya penolakan dicabutnya subsidi oleh pemerintah belakangan ini dimotori oleh mereka-mereka yang notabenenya mampu dan berkecukupan yang mengatasnamakan kemiskinan. Maka ketika 30 juta orang miskin di negara ini menuntut pemerintah untuk tidak mencabut subsidi, pada saat itu orang-orang miskin sebenarnya sedang berteriak kepada pemerintah "biarlah kami disubsidi sebesar Rp2.160.000 per tahun dan orang kaya sebesar Rp54.000.000 per tahun. (*)
 
Penulis adalah Presiden Mahasiswa Ikopin Bandung dan Ketua Gerakan Mahasiswa Sibolga (Germasi

sumber : Metro Tapanuli edisi Jumat, 17 Desember 2010

No comments:

Post a Comment