Selasa, 15/03/2011 09:45 WIB
Ketika "Supersemar" Melanda Jepang
Samsul Pasaribu - suaraPembaca
disalin berdasarkan aslinya dari sumbernya di : detik.com
Jakarta - Agar pembaca tidak penasaran, penulis akan jelaskan dulu maksud judul tulisan ini. Supersemar bukanlah kepanjangan dari surat perintah sebelas maret yang hingga saat ini (konon) tidak jelas dimana rimbanya. Namun Supersemar dimaksud hanya sebatas menyesuaikan peristiwa terjadinya gempa disusul tsunami di Jepang yang persis terjadi pada tanggal 11 Maret 2011.
Kendati sedikit dipaksakan, penulis ingin memaknai supersemar dalam konteks Jepang sebagai (t)sunami perkasa sebelas maret. Jadi, sekali lagi penulis mencoba mengingatkan kita Supersemar di tulisan ini tidak ada hubungannya dengan peristiwa 45 tahun yang lalu.
Sesuai dengan judul tulisan ini, gelombang raksasa yang meluluh lantakkan Jepang Jum'at lalu ternyata tidak mampu meluluh lantakkan budaya negeri Sakura ini yang telah terlatih dengan baik. Seperti halnya China, Jepang juga terkenal sebagai negara yang menjunjung etos kerja dan disiplin yang tinggi. Kedisiplinan itu tidak hanya terpelihara ketika masa damai. Disaat negara ini hancur oleh bencana dahsyat pun, keteraturan, ketenangan, kepatuhan dan semangat tetap terpelihara dengan baik.
Sekilas penulis ingin menceritakan keadaan Jepang pasca tsunami menerjang. Layaknya negara lainnya di dunia, bencana merupakan momok yang menakutkan dan cenderung menghantui setiap orang dibelahan bumi mana pun. Karena bencana datangnya selalu tiba-tiba, maka umumnya setiap individu tidak siap menghadapinya. Alhasil, kepanikan, hiruk pikuk, histeris, bingung dan isak tangis sering mewarnai suasana musibah dan itu pulalah yang menjadi ciri khasnya.
Tapi, tidak demikian halnya dengan Jepang. 11 Maret lalu, pemandangan berbeda justru kita saksikan langsung dari layar kaca ketika tsunami perkasa menghantam negeri sakura ini. Semua porak poranda tapi rakyatnya tidak panik. Semua hancur dalam sesaat tapi tidak untuk semangat mereka. Mulai dari saat gempa 9,0 SR mengguncang, warganya tampak tenang bahkan berusaha menenangkan yang lain.
Anak kecil berusia tujuh tahun dalam sebuah rekaman video amatir nampak bersembunyi dibawah meja saat rumahnya bergoncang keras. Gambaran yang menunjukkan bahwa rakyat negeri ini memang begitu terlatih bahkan untuk anak kecil sekali pun. Pemandangan lainnya, saat jalan raya penuh sesak, mereka tetap patuh terhadap rambu-rambu lalu lintas. Saat lampu merah menyala mereka berhenti dan membiarkan yang lainnya untuk lewat. Padahal gempa sekaliber 8,9 SR itu sudah cukup membuat siapa saja gemetaran dan panik. Tapi tidak untuk Jepang.
Dibelahan Jepang yang lain, kita juga menyaksikan ketika terjangan tsunami menghantam rakyatnya dengan tenang menyaksikan dari gedung-gedung dan dataran tinggi. Tidak ada tetes air mata, tidak ada teriakan histeris dan kepanikan. Mereka dengan tenang menyaksikan detik demi detik gelombang 10 meter itu menghantam kotanya. Seolah ingin menyaksikan langsung kebesaran tuhan lewat pesan tsunami ini, rakyat Jepang berkerumun tanpa rasa takut menghadapinya. Itulah Jepang dengan semua ke istimewaannya. Istimewa karena mereka begitu tenang menghadapi bencana.
Bagaimana dengan kita Indonesia? Layaknya Jepang, belakangan ini kita juga menjadi "langganan" bencana alam. Mulai dari tsunami Desember 2004, Gempa Nias 2005, Gempa Sleman Yogyakarta, Gempa di Sumatera Barat, banjir bandang di Wasior Papua, erupsi merapi di Yogyakarta hingga tsunami di Mentawai belum lama ini, semua datang dengan tiba-tiba dan kita bergaya seolah baru pertama kali terkena musibah. Padahal rentetan bencana itu (yang datang silih berganti) harus menjadi guru yang besar bagi jutaan rakyat negeri ini bahwa kepanikan bukanlah solusi menghadapi bencana.
Di Jepang, tingkat kepatuhan rakyatnya begitu tinggi. Diperintah mengungsi oleh pemerintah langsung mengungsi. Disuruh berdiam didalam rumah agar terhindar dari bahaya radiasi nuklir, mereka sabar bertahan dalam rumah. Berbeda dengan di negeri yang katanya berbudaya ini. Diperintah mengungsi, mereka malah bertahan di gunung merapi. Alhasil, erupsi membakar semua kampung dan korban jiwa pun tidak bisa di elakkan. Kesabaran penduduk Indonesia ini pun bisa terukur. Larangan kembali ke rumah sebelum tanggap darurat di cabut pun sering dilanggar. Alhasil, lagi-lagi upaya pemerintah untuk menekan jatuhnya korban jiwa gagal total.
Kita harus membuka mata dan berani berkata Jepang memang luar biasa. Ancaman kelaparan pasca tsunami tidak membuat jutaan rakyat Jepang mengeluh dan menyalahkan pemerintah. Mereka juga tidak terlihat antri panjang di camp-camp pengungsian. Lagi, kepercayaan akan kinerja pemerintahannya sangat di akui rakyatnya. Pemikiran seperti ini akhirnya melahirkan ketenangan berpikir bagi pemerintah untuk bisa memutuskan dengan cepat dan tepat memberikan pelayanan pasca bencana. Kemapuan rakyat negeri matahari terbit ini untuk menahan diri sesaat patut di acungi jempol. Dan sebagai negara yang ingin berubah Indonesia harus mau belajar dari Jepang.
Pertanyaannya adalah apa yang harus dipelajari dari Jepang? Jawabnya tentu cukup berpariasi. Karena sangat ditentukan oleh kepada siapa pelajaran itu akan diberikan. Ada pelajaran persi pemerintah dan yang tidak kalah pentingnya lagi adalah pelajaran berharga bagi ratusan juta rakyat negeri ini. Dalam konteks pemerintah, Indonesia harus belajar tentang kesiapan Jepang menghadapi bencana. Karena antara Indonesia dengan Jepang merupakan negara Asia yang rawan dengan bencana dan ancaman tsunami.
Sosialisasi dan simulasi bencana alam harus bisa menyentuh seluruh lini masyarakat tanpa membedakan usia dan jabatan. Pola pikir pemerintahan Jepang yang selalu siap dalam keadaan terburuk telah menjadikan negara ini selalu standby. Maka jangan heran sesaat setelah bencana bantuan langsung mengalir ke korban selamat tanpa melalui proses yang berbelit-belit. Ini jugalah yang menjadi salah satu faktor tidak adanya antrian dicamp-camp pengungsian berebut sembako atau makanan. Kesiap-siagaan yang lagi-lagi harus kita acungi jempol.
Kontek rakyat lain lagi. Hal besar yang harus menjadi perhatian kita semua adalah tingkat kepercayaan rakyat Jepang terhadap pemerintahnya cukup tinggi. Pola pikir bahwa pemerintah tidak mungkin meninggalkan rakyatnya terpelihara dengan baik. Maka hal positif seperti ini patut di tiru di Indonesia. Gaya hidup merasa lebih hebat, lebih tahu, lebih mampu dan berpikiran destruktif terhadap pemerintah harus dibuang jauh-jauh. Kata kuncinya adalah ketenangan. Hadapi dengan tenang, karena rasa tenang akan melahirkan pola pikir yang jernih dan melahirkan solusi-solusi konstruktif untuk keselamatan individu dan orang lain.
Hal lain mungkin yang harus menjadi perhatian pemerintah adalah mengingat hampir seluruh daerah pinggir pantai Indonesia rawan terhadap bencana tsunami, tidaklah salah bila khusus daerah pinggir pantai di beri persediaan berupa baju pelampung sesuai dengan jumlah anggota keluarganya. Hal ini perlu untuk meminimaliris korban jiwa tenggelam oleh terjangan tsunami. Andai pun korban jiwa tidak terhindarkan keberadaan baju pelampung bagi penduduk akan mempermudah proses pencarian para korban untuk di identifikasi. Semoga.
*Penulis adalah ketua umum PB Gerakan Mahasiswa Sibolga-Indonesia (Germasi) dan Presiden Mahasiswa Ikopin Bandung
Samsul Pasaribu
Jl. Raya Jatinangor Km.20,5 Gg. Plamboyan No. 13 Kab. Sumedang
syamsulpasaribu@yahoo.co.id
081370677022
(wwn/wwn)
No comments:
Post a Comment