Oleh : Samsul Pasaribu*
Setiap usaha mengapresiasi kinerja orang lain adalah hal yang layak dilakukan oleh siapa pun. Wajarkan, bila seseorang telah membantu kita dalam memperoleh sesuatu sebagai tanda terimakasih kita pun memberikan sesuatu dalam banyak bentuk. Bisa dengan uang, traktiran atau mungkin sekedar ucapan terimakasih saja. Sekilas memang seperti tidak ada masalah. Akan tetapi bila ditinjau lebih jauh, tradisi dan budaya ini agaknya menjadi salah satu cikal bakal maraknya praktek suap dan korupsi yang belakangan ini marak terjadi.
Pertanyaanya, apakah uang terimakasih salah? Tentu saja tidak. Hanya saja, ia menjadi kurang tepat bilamana tanda terimakasih itu diberikan berhubungan langsung dengan setiap urusan yang bersentuhan dengan kepentingan orang banyak. Pengurusan KTP dan KK misalnya yang oleh beberapa daerah digratiskan. Nyatanya dalam pelaksanaanya terlihat seperti tidak gratis. Banyak masyarakat yang sepertinya “terwajibkan” memberikan uang seikhlasnya sebagai wujud terimakasih telah dibantu mengurus KTP atau KK. Harus dicatat kata “terwajibkan” sengaja penulis gunakan karena dalam kenyataanya, secara umum sebenarnya masyarakat tidak ingin memberikan apa pun setiap mengurus sesuatu di kantor pemerintah, hanya saja karena telah melihat langsung sebagian lainnya memberikan dengan segala macam basa-basi alhasil warga yang semula tidak ingin memberi terpaksa harus melakukan hal yang sama.
Potret lainnya datang dari aparatur pemerintahan itu sendiri. Disalah satu kota di Sumatera Utara dalam pantauan salah satu organisasi pergerakan mahasiswa, (Gerakan mahasiswa Sibolga-Indonesia), nyaris tidak ada satu aparatur pemerintah yang berani mengatakan tidak setiap pemberian uang terimakasih dari warga. Celakanya lagi, untuk sebahagian warga yang tidak tahu lalu bertanya berapa biaya pengurusan KK dan KTP, dengan muka bodoh mereka menjawab “seikhlasnya saja”. Padahal sejatinya, setiap keinginan warga membayar seikhlasnya untuk pengurusan tersebut, aparatur negara sebaiknya dengan tegas mengatakan dan menerangkan lebih dahulu bahwa pengurusan tersebut tidak ada biaya sama sekali.
Hemat penulis, budaya uang terimakasih ini menjadi salah satu faktor terciptanya diskriminasi pelayanan publik ditengah-tengah masyarakat. Manusiawikan bila setiap orang selalu menomor satukan orang lain yang berani membayar lebih. Percayalah bahwa, setiap orang yang berniat memberi sesuatu dalam setiap pengurusan KTP atau KK selalu terucap kata “agar kedepan urusan kita lebih mudah dan tidak dipersulit”. Bukankah ini sudah termasuk bentuk konspirasi tersirat yang dilakukan oleh masyarakat dalam membangun budaya korupsi di negeri ini. Dan hal lainnya adalah tradisi ini adalah bukti bahwa secara tidak langsung masyarakatlah yang menciptakan diskriminasi pelayanan itu.
Pembaca pasti tahu cerita 4 orang buta yang disuruh menilai bentuk gajah. Masing-masing mereka punya pandangan yang berbeda. Mulai dari gajah itu besar seperti pohon dan lebar seperti karpet bahkan ada yang mengatakan panjang seperti ular. Perbedaan cara pandang itu terjadi karena tidak ada yang memberitahu sebenarnya gajah itu seperti apa. Begitu jugalah dengan tradisi uang terimakasih. Setiap masyarakat yang memberi tips ini tidak pernah memberitahu dengan jelas maksud dan tujuan mereka memberi. Benarkah ikhlas atau mereka punya kepentingan lain. Benarkah semata-mata ingin menunjukkan rasa terimakasihnya atau malah ingin tetap diutamakan untuk urusan selanjutnya. Masyarakat yang tidak tahu melihat itu sebagai sebuah keharusan yang telah diwariskan turun-temurun. Tentu saja hal ini menjadi ancaman kedepannya. Karena harus diakui, praktek korupsi yang terjadi sekarang ini tidak lepas dari budaya yang telah terpelihara dari dulu hingga kini.
Dalam satu kesempatan, ketika penulis memperpanjang KTP, penulis dihadapkan kepada beberapa pilihan apakah akan memberi atau tidak mengingat setiap warga yang lebih dahulu mengurus selalu memberikan tips terimakasih. Fenomena ini mengantarkan penulis kepada satu kesimpulan bahwa setiap orang yang ada saat itu pastilah punya pikiran yang sama. Apalagi, masing-masing warga saling bertanya berapa besaran uang yang telah disiapkan sebagai ucapan terimakasih.
Memang pelarangan memberi ucapan terimakasih ini terkesan seperti berlebihan sekali. Karena toh itu hak masing-masing. Tapi, penulis yakin uraian diatas mengantarkan para pembaca kepada satu titik bahwa dinamika tersebut nyata terjadi dilapangan. Seorang tokoh kawakan di Sibolga, Nurdin.Z pernah berkata “Hal tersulit dalam hidup bukanlah menghindarkan diri kita dari dosa, tetapi menghindarkan orang lain berdosa karena kita”. Oleh karena itu, kendati memberi uang terimakasih adalah hak masing-masing tapi ketika orang terbebani dengan tindakan kita dan dimasa yang akan datang menjadi celah terjadinya praktek suap dan korupsi, bukankah artinya kita telah berkonstribusi didalamnya?
Tentu kita tidak ingin ini berlanjut terus. Untuk itu tak salah bila kita menghimbau kepada setiap orang yang mampu membayar agar berhentilah memberi uang terimakasih dalam satiap pengurusan di pemerintahan. Kasihan warga yang kurang mampu terlanjur menganggap hal itu menjadi sebuah keharusan. Dan upaya seperti ini menjadi cara tidak langsung menciptakan diskriminasi pelayanan publik yang sama rata dan sama rasa kepada siapa pun.
Jadi benarlah ungkapan yang mengatakan bahwa pemberantasan korupsi bukan semata tanggungjawab pemerintah dan KPK RI tetapi menjadi tanggungjawab seluruh warga negara. Kita mungkin perlu belajar dari setiap staf KPK RI yang turun kelapangan dan memberi pelayanan kepada masyarakat. Mereka tidak ingin dibayar dan dilayani. Bahkan sekedar diberi air mineral pun mereka menolak. Katanya, rakyat sudah melayani mereka lewat pajak yang kita bayar. Jadi, percayalah tidak memberi uang terimakasih tidak akan membuat siapa pun berdosa dan disalahkan oleh siapa pun. Bahkan sebaliknya, menghentikan tradisi memberi uang terimakasih dalam setiap urusan dipemerintahan menjadikan aparatur negara bekerja dengan ikhlas dan penuh dedikasi. Semoga.
Penulis adalah ketua umum PB Gerakan Mahasiswa Sibolga-Indonesia (Germasi)
No comments:
Post a Comment