Oleh : Samsul Pasaribu*
Benar kata orang. Bagaimana pun
miripnya wajah seseorang (baca : kembar indentik) selalu ada saja ada yang
membedakan keduanya. Fenomena inilah
yang menjadikan istilah serupa tapi tak sama menjadi hal yang wajar-wajar saja
dalam dinamika kehidupan kita. Tapi ada sebahagian yang tidak serupa sama
sekali, bahkan dari garis keturunan pun mungkin, sekali lagi mungkin bila
ditarik garis lurus kesamaan itu hanya bertemu disatu titik yaitu nabi Adam.
Begitu pun, layaknya serupa tapi tak sama itu terkadang kita juga menyaksikan
ada orang yang tidak serupa sama sekali tetapi ada hal-hal yang membuat mereka
sama dan sejajar dalam pandangan kita. Seperti Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono misalnya. Tentu kita sepakat SBY tidak mirip sama sekali dengan
perdana menteri perdana menteri Inggris David Cameron. Begitu juga halnya David
Cameron tidak mirip sama sekali dengan Francois Hollande
(presiden Francis). Tetapi ketidak miripan itu disamakan oleh status sosial
yang mereka miliki sekarang yaitu sama-sama kepala negara atau kepala
pemerintahan. Sehingga mereka tidak punya pilihan bahwa sebagai pimpinan sebuah
negara ada hal-hal tertentu yang harus mereka perhatikan seperti cara mereka
berpakaian, berbicara, merespon issu dan menanggapi kritik. Stutus mereka yang
kebetulan orang nomor satu memaksa mereka untuk bisa menjadi warga negara
unggul dan terbaik serta mutlak harus menjadi panutan.
Itulah prolog yang
coba penulis gambarkan sebelum penulis mengajak pembaca menuju satu titik
terkecil dalam membedakan antara Syarfi Hutauruk yang polisiti dengan Bonaran
Situmeang yang praktisi hukum. Keduanya punya latar belakang yang berbeda jauh.
Tidak hanya itu, wajah mereka pun tidak mirip sama sekali. Sang Praktisi hukum
berkumis sedangkan si politisi tidak sama sekali. Bonaran tinggi tegap
sedangkan Syarfi pendek dan gemuk. Begitu
banyaknya perbedaan itu ternyata mereka disatukan oleh banyak hal.
Pertama, mereka sama-sama berasal dari kampung. Mereka juga sama-sama dewasa di
Jakarta. Keduanya juga sama-sama berhasil menjadi orang terkenal. Uniknya lagi
mereka juga sama-sama berhasil menjadi pembela rakyat. Bonaran membela
orang-orang yang HAM nya terancam sedangkan Syarfi pembela kepentingan rakyat
di parlemen. Kesamaan itu pun sempurna secara kebetulan bahwa mereka sama-sama
menjadi kepala daerah. Syarfi Hutauruk menjadi Walikota di Sibolga sedangkan
Bonaran Situmeang menjadi Bupati di Tapanuli Tengah. Anehnya lagi, antara
Sibolga dan Tapanulli Tengah justru adalah kabupaten/kota yang sejarah, kultur
dan budayanya sama. Sempurnakan?
Lalu apa
masalahnya? Ternyata begitu banyaknya persamaan seperti diutarakan diatas.
Tidak serta merta membuat mereka sama dalam merespon kritik, gagasan dan
usulan. Kesamaan itu juga tidak mengantar mereka kepada satu titik bahwa
Sibolga Tapanuli Tengah adalah negeri serumpun yang harus dibangun secara
bersama-sama. Kesamaan itu tidak membuka kesadaran mereka bahwa bila salah satu
dari dua daerah serumpun ini terlambat dibangun atau terkendala pembangunannya
maka dampaknya akan dirasakan oleh kedua daerah secara merata.
Bila dikaji lebih
dalam. Antara Syarfi Hutauruk dan Bonaran Situmeang lebih banyak memiliki
kesamaan daripada perbedaan. Bagi keduanya yang kebetulan telah berstatus
sebagai kepala daerah istilah “semua orang tak sama” tidaklah berlaku sama sekali.
Mengingat, perbedaan-perbedaan yang ada tadi telah disatukan oleh persamaan
jabatan, kultur, budaya, dan semangat membangun negeri serumpun. Tinggal yang
harus dilakukan adalah bagaimana keduanya lebih mengedepankan persamaan itu
ketimbang perbedaan yang ada. Karena persamaan akan mengantar seseorang kepada
kedekatan dan aura kekeluargaan yang sama rasa sama rata. Sedangkan perbedaan
akan menjadikan pribadi-pribadi yang besangkutan dikucilkan dan di isolir
ditengah-tengah masyarakat.
Ada yang menarik
di Tapanuli Tengah dan Sibolga sepekan terakhir ini. Kontroversi karya tulis
yang menjadi konsumsi masyarakat mendapat respon yang berbeda. Perang antara
Bonaran dan salah satu staf Walikota Sibolga menjadi pelajaran penting bagi
kita. Bahwa, terkadang ada masa dimana pribadi-pribadi kita lupa bahwa itu
tidak lagi kelas kita. Sudah hukum alam mungkin bahwa sepintar-pintar orang ada
kalanya ia jatuh di titik terbodoh dalam hidupnya. Tetapi harus dicatat ketika
ia jatuh tidak pernah lebih dari satu kesalahan. Sehingga kontroversi antara
Bonaran dengan Sahat sepekan yang lalu sebenarnya hal yang wajar. Tetapi ia
menjadi tidak wajar ketika permasalahan itu menjadi berlarut-larut atau
dipaksakan berlarut-larut.
Ya. Itulah potret
yang berhasil penulis rekam dalam
tulisan kali ini. Entah tulisan ini ada hal yang salah atau tidak tentunya
pembaca yang lebih tahu dan paham. Karena karya tulis merupakan salah satu alat
para akademisi dan intelektual muda untuk berkomunikasi dengan pihak lain maka
langkah bijak yang harus diambil oleh setiap orang merespon karya tulis orang
lain adalah dengan membuat karya tulis bantahan atas setiap kesalahan yang ada.
Atau selemah-lemah pendekatannya adalah bertanya kepada penulis arah tujuan
setiap kalimat yang sesungguhnya. Bila itu pun tidak sudi dilakukan. Penulis
juga siap kok dipidanakan. Hehehe.
No comments:
Post a Comment