Selamat Atas Peluncuran Majalah Online GERMASI "IDEALIS", Terbit Tanggal 5 Setiap Bulan. Jangan Sampai Ketinggalan

Wednesday, May 9, 2012

SYARFI DAN BONARAN. SERUPA TAPI TAK SAMA


Oleh : Samsul Pasaribu*
Benar kata orang. Bagaimana pun miripnya wajah seseorang (baca : kembar indentik) selalu ada saja ada yang membedakan keduanya. Fenomena  inilah yang menjadikan istilah serupa tapi tak sama menjadi hal yang wajar-wajar saja dalam dinamika kehidupan kita. Tapi ada sebahagian yang tidak serupa sama sekali, bahkan dari garis keturunan pun mungkin, sekali lagi mungkin bila ditarik garis lurus kesamaan itu hanya bertemu disatu titik yaitu nabi Adam. Begitu pun, layaknya serupa tapi tak sama itu terkadang kita juga menyaksikan ada orang yang tidak serupa sama sekali tetapi ada hal-hal yang membuat mereka sama dan sejajar dalam pandangan kita. Seperti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono misalnya. Tentu kita sepakat SBY tidak mirip sama sekali dengan perdana menteri perdana menteri Inggris David Cameron. Begitu juga halnya David Cameron tidak mirip sama sekali dengan Francois Hollande (presiden Francis). Tetapi ketidak miripan itu disamakan oleh status sosial yang mereka miliki sekarang yaitu sama-sama kepala negara atau kepala pemerintahan. Sehingga mereka tidak punya pilihan bahwa sebagai pimpinan sebuah negara ada hal-hal tertentu yang harus mereka perhatikan seperti cara mereka berpakaian, berbicara, merespon issu dan menanggapi kritik. Stutus mereka yang kebetulan orang nomor satu memaksa mereka untuk bisa menjadi warga negara unggul dan terbaik serta mutlak harus menjadi panutan.

Itulah prolog yang coba penulis gambarkan sebelum penulis mengajak pembaca menuju satu titik terkecil dalam membedakan antara Syarfi Hutauruk yang polisiti dengan Bonaran Situmeang yang praktisi hukum. Keduanya punya latar belakang yang berbeda jauh. Tidak hanya itu, wajah mereka pun tidak mirip sama sekali. Sang Praktisi hukum berkumis sedangkan si politisi tidak sama sekali. Bonaran tinggi tegap sedangkan Syarfi pendek dan gemuk. Begitu  banyaknya perbedaan itu ternyata mereka disatukan oleh banyak hal. Pertama, mereka sama-sama berasal dari kampung. Mereka juga sama-sama dewasa di Jakarta. Keduanya juga sama-sama berhasil menjadi orang terkenal. Uniknya lagi mereka juga sama-sama berhasil menjadi pembela rakyat. Bonaran membela orang-orang yang HAM nya terancam sedangkan Syarfi pembela kepentingan rakyat di parlemen. Kesamaan itu pun sempurna secara kebetulan bahwa mereka sama-sama menjadi kepala daerah. Syarfi Hutauruk menjadi Walikota di Sibolga sedangkan Bonaran Situmeang menjadi Bupati di Tapanuli Tengah. Anehnya lagi, antara Sibolga dan Tapanulli Tengah justru adalah kabupaten/kota yang sejarah, kultur dan budayanya sama. Sempurnakan?


Lalu apa masalahnya? Ternyata begitu banyaknya persamaan seperti diutarakan diatas. Tidak serta merta membuat mereka sama dalam merespon kritik, gagasan dan usulan. Kesamaan itu juga tidak mengantar mereka kepada satu titik bahwa Sibolga Tapanuli Tengah adalah negeri serumpun yang harus dibangun secara bersama-sama. Kesamaan itu tidak membuka kesadaran mereka bahwa bila salah satu dari dua daerah serumpun ini terlambat dibangun atau terkendala pembangunannya maka dampaknya akan dirasakan oleh kedua daerah secara merata.

Bila dikaji lebih dalam. Antara Syarfi Hutauruk dan Bonaran Situmeang lebih banyak memiliki kesamaan daripada perbedaan. Bagi keduanya yang kebetulan telah berstatus sebagai kepala daerah istilah “semua orang tak sama” tidaklah berlaku sama sekali. Mengingat, perbedaan-perbedaan yang ada tadi telah disatukan oleh persamaan jabatan, kultur, budaya, dan semangat membangun negeri serumpun. Tinggal yang harus dilakukan adalah bagaimana keduanya lebih mengedepankan persamaan itu ketimbang perbedaan yang ada. Karena persamaan akan mengantar seseorang kepada kedekatan dan aura kekeluargaan yang sama rasa sama rata. Sedangkan perbedaan akan menjadikan pribadi-pribadi yang besangkutan dikucilkan dan di isolir ditengah-tengah masyarakat.

Ada yang menarik di Tapanuli Tengah dan Sibolga sepekan terakhir ini. Kontroversi karya tulis yang menjadi konsumsi masyarakat mendapat respon yang berbeda. Perang antara Bonaran dan salah satu staf Walikota Sibolga menjadi pelajaran penting bagi kita. Bahwa, terkadang ada masa dimana pribadi-pribadi kita lupa bahwa itu tidak lagi kelas kita. Sudah hukum alam mungkin bahwa sepintar-pintar orang ada kalanya ia jatuh di titik terbodoh dalam hidupnya. Tetapi harus dicatat ketika ia jatuh tidak pernah lebih dari satu kesalahan. Sehingga kontroversi antara Bonaran dengan Sahat sepekan yang lalu sebenarnya hal yang wajar. Tetapi ia menjadi tidak wajar ketika permasalahan itu menjadi berlarut-larut atau dipaksakan berlarut-larut.

Ya. Itulah potret yang  berhasil penulis rekam dalam tulisan kali ini. Entah tulisan ini ada hal yang salah atau tidak tentunya pembaca yang lebih tahu dan paham. Karena karya tulis merupakan salah satu alat para akademisi dan intelektual muda untuk berkomunikasi dengan pihak lain maka langkah bijak yang harus diambil oleh setiap orang merespon karya tulis orang lain adalah dengan membuat karya tulis bantahan atas setiap kesalahan yang ada. Atau selemah-lemah pendekatannya adalah bertanya kepada penulis arah tujuan setiap kalimat yang sesungguhnya. Bila itu pun tidak sudi dilakukan. Penulis juga siap kok dipidanakan. Hehehe.

No comments:

Post a Comment