Selamat Atas Peluncuran Majalah Online GERMASI "IDEALIS", Terbit Tanggal 5 Setiap Bulan. Jangan Sampai Ketinggalan

Friday, August 12, 2011

FENOMENA DARSEM

Oleh : Novitasari Tanjung

Rasanya berada di ujung maut apalagi dengan pancungan? Membayangkannya saja mungkin kita tak sanggup apalagi bila harus menjalaninya. Upaya apa pun pasti kita lakukan asalkan bisa lepas dari jeratan si tukang jagal. Bahkan (mungkin) kita rela seluruh isi dunia digadaikan asalkan hidup kita tidak berakhir dengan pancungan.Inilah realitanya dan penulis yakin, Darsem, merasakan hal ini ketika dalam penantian hidup mati di Arab Saudi. Kata yang harus digaris bawahi pada paragraf ini adalah “menggadaikan isi dunia asal kita tetap hidup”.
Pertanyaannya adalah, setelah Darsem terselamatkan dari hukuman mati, sudahkan Darsem menggadaikan dunianya? Jawabannya belum bahkan sangat jauh dari kata sudah. Entah terlalu bahagia, atau mungkin sudah jadi tabiat, Darsem justru mengambil seluruh hak dunianya dalam bentuk uang kepedulian rakyat Indonesia untuk memperkaya dirinya. Padahal bisa jadi, uang tebusan itu tidak hanya digelontorkan oleh orang-orang kaya dan berada. Ratusan bahkan ribuan dari para donatur kaget (meminjam istilah pasar kaget yang ada tiba-tiba) itu adalah kalangan rakyat miskin yang merasa senasib dan sepenanggungan dengan Darsem. Kendati tidak kenal siapa itu Darsem, baik atau tidak, dermawan atau tidak ribuan rakyat Indonesia bersepakat yang penting Darsem selamat dulu. Jangan sampai menyusul Ruyati yang bernasib malang. Tapi, lagi, Darsem lupa bahwa ia pernah berfikir bahwa nyawa lebih berharga dari apa pun di dunia ini.
Itulah Darsem. Dan menurut penulis, Fenomena Darsem adalah jawaban nyata dari Tuhan bahwa saya, anda dan dia bukan tidak bisa bernasib sama dengan orang-orang kaya lainnya. Hanya saja, kekayaan itu belum layak kita miliki oleh karena sikap mental kita, kepedulian kita, empaty dan rasa kemanusiaan kita belum bisa mencerminkan orang kaya harapan orang tidak berada (baca:fakir miskin).
Dalam kacamata agama mana pun, kesepakatan kita sebagai makhluq adalah bahwa Tuhan adalah dzat yang maha mengetahui apa kebutuhan manusia yang sesungguhnya. Dengan kata lain Tuhan lebih mengerti kita dari pada diri kita sendiri. Oleh karena itu, sikap pasrah terhadap keadaan dan menerima apa adanya serta selalu ber-ikhtiar adalah kunci utama meraih kekayaan yang sesungguhnya. Maka, satu kata yang harus kita lakukan untuk mencapai kesejahteraan itu adalah meyakinkan tuhan bahwa kita layak untuk itu. Upaya meyakinkan itu dengan cara sederhana bisa kita wujudkan dengan telah bermanfaat bagi orang lain ketika kita masih hidup apa adanya. Kita juga sudah membiasakan diri berbagi dan peduli tanpa harus kaya dulu. Bukankah, untuk berbuat baik tidak harus menunggu berhasil. Atau bukankah untuk berbakti pada keluarga termasuk orangtua kita tidak harus sukses lebih dulu.
Penulis sebenarnya tidak sepenuhnya menyalahkan Darsem akan gaya hidupnya saat ini. Karena faktor himpitan ekonomi yang menekan selama ini mungkin menjadikan Darsem trauma akan kata kemiskinan. Atau mungkin Darsem menyalahkan kemiskinan itu menjadi penyebab utama ia dihadapkan dengan hukuman pancung. Sehingga ketika kesempatan ada ditambah lagi uang yang miliaran rupiah dijadikan Darsem sebagai saat yang tepat untuk melepaskan status miskin itu pada dirinya. Tapi Darsem lupa, segala sesuatu yang dicapai dengan mudah maka akan mudah pula lepasnya. Oleh karena itu uang, berapa pun jumlahnya tidak akan bertahan lama andai dipergunakan sebatas memenuhi kebutuhan perut saja atau membeli barang mewah.
Darsem juga lupa, rakyat yang memberi segalanya untuknya bisa saja memintanya kembali dalam peristiwa yang tidak dia sangka-sangka. Siapa yang menduga Darsem bisa lepas dari hukuman pancung, dan siapa juga yang menduga Darsem menjadi kaya mendadak. Tapi siapa yang bisa menjamin bahwa Darsem akan kaya terus menerus dengan bergelimpangan harta? Tak takutkah Darsem terhadap puluhan ribu simpatisannya berkata “mending kemarin jadi aja dipancung”. Na udzubillahi min dzalik. (***)

No comments:

Post a Comment