Siapa yang tidak sepakat bila bangsa ini bebas dari korupsi? Atau siapakah dari rakyat negeri ini yang tidak mau bahwa kejujuran, kedisiplinan dan penegakan hukum harus dilakukan sejak dini dan merupakan tanggungjawab semua orang? Jawabannya, tentu tidak ada seorang pun yang tidak bersepakat.
Bahkan anak sekolah taman kanak-kanak (TK) sekalipun andai ditanya hal yang sama, dengan kepolosannya akan menjawab korupsi harus di basmi dan hukum harus ditegakkan. Lalu, cukupkah itu semua? Tentu saja tidak.
Hal yang membuat itu semua belum cukup adalah karena kepedulian yang dipertontonkan oleh pejabat, penguasa bahkan rakyat jelata sekali pun masih dalam konteks tarik ulur kepentingan. Sederhanannya adalah, andai kepentingan kita tidak terganggu maka semua harus ditegakkan. Tapi begitu kepentingan itu terusik maka bisa dipastikan semua yang selama ini kita minta untuk ditegakkan justru kita pulalah yang berada dibarisan terdepan untuk meruntuhkannya.
Hal lain misalnya. Tanyalah para guru, kepala dinas pendidikan dan para pelajar di daerah kita akan hakekat penegakan UN secara jujur dan bersih. Mereka tentunya bersepakat UN harus berlangsung dengan nilai-nilai kejujuran. Tetapi karena tidak sanggup menerima resiko terburuk dimana andai UN pada akhirnya tidak mampu meluluskan para pelajar seratus persen yang berdampak pada dicopotnya seorang kadisdik dari jabatannya dan tercorengnya nama baik institusi pendidikan maka yang dilakukan adalah melanggar keinginan berlaku jujur itu dengan melakukan tindakan rekayasa ujian nasional yang sarat dengan kepentingan.
Dewasa ini, tak ada lagi perbedaan mana ranah politik dan mana ranah pendidikan. pendidikan sendiri sudah menjadi bagian dari komoditi politik. Membangun citra lewat prestasi akademik manjadi indikator keberhasilan kepala daerah dimana pun. Alhasil, kepala daerah berlomba-lomba menekan kadis pendidikannya untuk melakukan apa pun asalkan UN bisa lulus seratus persen. Memalukan bukan?
Ingat kejadian, orangtua siswa di usir dari kampung halamannya karena berani membongkar upaya contek massal di sekolahnya? Itulah salah satu potret nyata kepedulian kita. Kejujuran yang selayaknya diapresiasi oleh siapa pun justu berimbas pada “tergusurnya” sang pahlawan dari komunitasnya. Ini menandakan bahwa jangankan pejabat negara, rakyat jelata sekali pun andai kepentingannya terganggu oleh penegakan hukum akan berontak seketika. Padahal pada awalnya, pejabat selalu menggembor-gemborkan penegakan hukum begitu juga dengan rakyat yang selalu berteriak keras berantas korupsi, tegakkan kejujuran, sikat habis mafia hukum dan lain sebagainnya.
Hal yang paling ironisnya lagi adalah kepedulian yang selama ini murni hanya dimiliki oleh mahasiswa sekarang sudah ditulari oleh pola-pola pikir yang mengancam idealisme mahasiswa itu sendiri. Sebuah fenomena unik terjadi di Sibolga. Dalam dua pekan berturut-turut gerakan mahasiswa Sibolga-Indonesia (Germasi), DPRD dan berbagai elemen masyarakat menyoroti kinerja perusahan negara di Sibolga yang oleh berbagai elemen terkesan arogan dan mengesampingkan hajad hidup kaum lemah untuk kepentingan tertentu. Namun, siapa yang menyangka, perang media itu justru memanfaatkan kelompok mahasiswa lain untuk melakukan serangan balik yang hemat penulis benar-benar lari dari garis pergerakan mahasiswa secara nasional. Celakanya lagi, komunitas mahasiswa yang diharapkan peduli dengan nasib kaum lemah justru dikalahkan oleh kepentingannya yang berhasrat melakukan salah satu turnamen olahraga yang lagi-lagi justru memperebutkan tropi oknum yang sedang di soroti kinerjanya oleh orang banyak.
Entah itu kebetulan atau tidak, tentunya kita berharap fenomena tak sedap itu terjadi tanpa direncanakan sama sekali atau mungkin tidak dimaksudkan memecah belah kepedulian mahasiswa yang hingga detik ini secara nasional konsisten berjuang untuk rakyat dan memberikan advokasi penuh guna meminimalisir upaya-upaya terselubung oknum tertentu memanfaatkan kelemahan pengetahuan rakyat banyak.
Dan bukankah fenomena ini juga yang sedang terjadi saat ini. Ketika secara manusiawi sosok Marzuki Alie yang notabenenya ketua DPR RI dan penasehat partai Demokrat dengan lata menganjurkan dibubarkannya KPK RI. Anjuran itu muncul setelah kadernya terseret oleh kasus korupsi miliaran rupiah. Lagi, partai yang katanya berada di garis terdepan memberantas korupsi ini justru menjadi partai terdepan pula yang menyarankan di tutupnya KPK setelah kepentingannya diusik oleh kasus M. Nazaruddin.
Dari fenomena ini, tak salah kiranya penulis menarik satu kesimpulan awal bahwa bangsa kita dalam konteks yang sesungguhnya tidak sebatas penguasa dan pengusaha atau pejabat dan orang bejat pada dasarnya belum siap sama sekali melakukan penegakan hukum itu secara bersama-sama.
Inilah potret kepedulian kita. Orientasinya masih sebatas kepentingan. Andai didalamnya kepentingan kita terganggu maka sama-sama kita berusaha mencegahnya tetapi andai dalam setiap konflik kita bisa menyelipkan kepentingan kita walau pun harus mengorbankan orang lain maka kita juga sama-sama menutup mata untuk setiap tangisan, derita dan keluhan rakyat miskin. Demikianlah bangsa kita saat ini. (***)
No comments:
Post a Comment