Jumat, 27 Mei 2011
Pupus sudah harapan masyarakat Indonesia dalam penantian diterimanya keputusan yang baik dari hasil Kongres PSSI kemarin.Kegiatan itu ternyata menghasilkan keputusan yang sama dari kongres pertamanya, berakhir tanpa keputusan! Kini, Indonesia menyandang status “Awas” menghadapi bencana hukaman berat yang akan mungkin dialamatkan. Reaksi yang wajar dilakukan mengingat
Irfan Arhamsyah Sihotang
Besarnya bobot kegeraman FIFA sebagai lembaga persepakbolaan dunia. Masyarakat Indonesia meski menyesal namun tegas memberi restu penghukuman itu akibat gerah dengan ulah pelaku kongres yang masih terus memproduksi kemelut berkepanjangan karena minimnya kedewasaan mereka.
Oleh : Samsul Pasaribu*
“memajukan sepak bola tidak semata-mata untuk kepentingan PSSI tapi juga kepentingan bangsa dan negara” setidaknya kalimat ini accap kali di ucapkan berulang-ulang oleh segelintir orang yang mengaku peduli sepak bola. Entah itu jenderal, pengusaha, penguasa, ekonom, politisi, budayawan, olahragawan, hartawan hingga rakyat jelata, semua sudah sepakat bahwa bola tidak hanya milik PSSI tapi sudah menyatu dalam darah dan daging ratusan juta rakyat negeri ini.
Tapi benarkah itu semua? Jawabannya, bohong!. Kalimat diatas hanya sebatas slogan yang layak dijual untuk mengambil hati pemilik suara, dan bila itu tidak tercapai maka, egoisme, individualisme dan terlalu memaksakan kehendak menjadi dominan dalam menjebolkan kepentingan yang bersangkutan. Kebohongan lainnya yang nyata-nyata kita saksikan dengan mata dan kepala kita sendiri adalah, tokoh yang mengaku peduli sepak bola ini justru sedang mengorbankan olahraga ini untuk kepentingan satu dua orang. Tegasnya, untuk harga diri seorang jenderal yang bernama George Toisutta dan seorang pengusaha Arifin Panigoro. Tokoh ini menjadikan kata keadilan sebagai senjata perang paling ampuh untuk memuluskan jalannya tanpa mempertimbangkan masa depan sepak bola nasional untuk lima dan sepuluh tahun yang akan datang.
Senin, 23 Mei 2011
Sensasi-sensasi terus saja menghiasi suasana bumi ini, bahkan maraknya pun masih menggila. Sensasi-sensasi ini bak candu yang mempengaruhi pemikiran dan keingingan kita untuk berketergantungan akannya. negeri kita tercinta yang masih terus bercita-cita ini, adalah penikmat sensasi-sensasi yang fanatik dan sangat terakdiktif. Kita dapat menemukan ragam warna dan corak dari sensasi-sensasi yang ingin kita cari dan pahami. Sensasi budaya, sensasi perekonomian, sensasi masyarakat, sensasi artis, sensasi pejabat, sensasi terorisme, sensasi kriminalisasi dan banyak lagi tipe sensasi produk manusiawi di negeri pertiwi ini
Oleh: Irfan Arhamsyah Sihotang
Sabtu, 21 Mei 2011
Mahasiswa Peduli Amanat Penderitaan Rakyat
SIBOLGA- Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) ke-103 menjadi moment gerakan mahasiswa Sibolga-Indonesia (Germasi) untuk mengevaluasi sistem pergerakannya sejak berdiri 22 September 2009. Germasi berharap agar mahasiswa peduli akan amanat penderitaan rakyat dengan menyuarakan kepentingan rakyat Sibolga terhadap kebijakan pemerintah daerah.
Ketua Umum PB Germasi, Samsul Pasaribu kepada METRO, Jumat (20/5) mengatakan, kendati kumpulan mahasiswa Sibolga (Germasi-red) tidak akan latah ikut demo dan turun aksi kejalan layaknya yang dilakukan mahasiswa secara umum, bukan berarti Germasi tidak setuju dengan pola-pola seperti ini.
“Pemahaman Germasi, jalanan adalah senjata terakhir untuk menyampaikan aspirasinya. Bila melalui dialog dan kritikan lewat media, dipandang cukup untuk mengingatkan siapa saja yang coba-coba menghambat kesejahteraan rakyat, maka Germasi memandang jalanan belumlah menjadi sesuatu yang penting,” ujarnya.
Dikatakannya, Hal itu dilakukan Germasi, karena menganggap siapa pun itu, baik Pemko Sibolga maupun DPRD masih memiliki mata, telinga dan hati nurani, sehingga masih mau mendengar apa yang disuarakan oleh mahasiswa dan masyarakat.
“Tapi, bila cara-cara seperti ini dipandang sebagai bentuk kekerdilan Germasi, maka Germasi berkesimpulan pihak-pihak terkait sudah menutup mata dengan semua saran dan kritikan dan untuk itu tidak tertutup kemungkinan mahasiswa Sibolga akan memulai babak baru reformasi mini di Kota Sibolga,” tukasnya.
Berkenan dengan moment kebangkitan Nasional ke 103, Germasi meminta Wali Kota Sibolga agar jangan sekali-kali menekan kebebasan berdemokrasi di Kota Sibolga. Sebagai mantan anggota DPR RI, Wali Kota dalam pandangan Germasi adalah tokoh yang memahami betul kebebasan itu. (afn/mer)
Sabtu, 21 Mei 2011
Sejenak mengkilas balik sejarah di masa lebih dari seabad yang lalu, ada penginspirasian dari momen bersejarah di hari ini yang menyandangkan sebuah tema Hari Kebangkitan Nasional, hari disaat Indonesia menemukan titik balik dari perjuangannya demi cita-cita kemerdekaan! Munculnya gairah rakyat Indonesia dalam meraih kebebasan dikuatkan oleh daya Nasionalisme yang fenomenal, dimotori para cendekiawan, diindahkan oleh para masyarakat dan diperjuangkan bersama oleh Indonesia
Oleh: Irfan Arhamsyah Sihotang
Semangat persatuan dan kesatuan ini adalah modal dasar dalam melakukan suatu usaha besar yang mentransformasikan suasana keterjajahan ke suasana sengitnya perang hingga melahirkan sebuah suasana yang diidam-idamkan, Merdeka! 20 Mei 1908 adalah hari perintisan kebangkitan kesadaran atas kesatuan kebangsaan dan semangat nasioanlisme yang diilhamkan oleh tokoh pendidikan, Boedi Utomo dan kelompoknya. Bermula dari hari ini, gencar perjuangan panjang Bangsa Indonesia melawan penjajah dilakukan hingga berpuncak pada proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Imprealisme dan Kolonialisme yang mewabah dan menjangkit rakyat Indonesia pun dihapuskan, Pemerintahan Indonesia tegak dengan prakarsa rakyatnya sendiri tanpa ada lagi dera dan siksa.
Reformasi.. Reformasi.. Reformasi sampai mati.
LAGU ini menjadi nyanyian pergerakan mahasiswa setidaknya sejak genderang reformasi ditabuh 13 tahun lalu. Hampir seluruh rakyat negeri ini sepakat bahwa perjuangan menumbangkan rezim penguasa saat itu murni dipelopori oleh mahasiswa yang notabenenya adalah kaum muda intelektual muda bangsa yang tidak mampu dikotak-kotakkan oleh rezim.
Unjuk rasa mahasiswa saat itu menjadi sebuah kekuatan super yang mendapat tempat di hati rakyat dan menjadikan mahasiswa “militer” kedua di negara ini setelah TNI. Peran militer di sini adalah peran mahasiswa sebagai pelindung dan penyelamat rakyat dari rezim yang semena-mena berkuasa.
Jakarta - Semprot sana-semprot sini. Coret sana coret sini menjadi pemandangan biasa setiap ujian nasional berakhir. Budaya yang katanya menjadi kenang-kenangan ini ternyata bohong belaka. Buktinya baju seragam yang dicoret nyatanya berubah menjadi kain pembersih.
Alih-alih dijadikan kenang-kenangan masa-masa SMA, baju bersejarah yang telah mengantarkan pemiliknya menjadi intelektual muda justru musna tanpa manfaat yang berarti.
Jumat, 13 Mei 2011
Atasi Korban Kebakaran di Pancuran Bambu
Wali Kota Sibolga diminta prioritaskan penanganan para korban kebakaran di Jalan Mojopahit, Kelurahan Pancuran Bambu, Kecamatan Sibolga Selatan. Terutama untuk menjamin ketersediaan kebutuhan papan, agar tak lagi ‘numpang’ di rumah ibadah. Sebelum Ramadan, di awal Agustus mendatang sebaiknya tuntas.
Hal itu disampaikan Ketua Umum PB Germasi Samsul Pasaribu, didampingi Sekjend PB Germasi Andi Josua Telaumbanua, kepada METRO, Kamis (12/5). Dia menuturkan, keprihatinan mendalam atas musibah kebakaran yang terjadi akhir-akhir ini.
Menurut Samsul Pasaribu, tahun 2011 adalah tahun terburuk bagi warga Kota Sibolga dalam konteks musibah kebakaran. “Biasanya dalam setahun, Sibolga paling banyak hanya ditimpa satu kali kebakaran. Namun sepanjang tahun 2011 ini dan khususnya dalam satu bulan ini saja sudah terjadi 3 kali kebakaran di Kota Sibolga. Semoga saja kebakaran yang baru-baru ini adalah musibah terakhir melanda Kota Sibolga,” harap Samsul.
Rabu, 11 Mei 2011
Keprihatinan melanda negeri ini, kerusakan di sektor filterisasinya membuat pengaruh budaya luar merubah paradigma dan pola fikir masyarakat dalam negeri terhadap budayanya sendiri. Pergeseran nilai ini mengakibatkan Indonesia dilanda krisis moral dengan maraknya
Oleh: Irfan Arhamsyah Sihotang
Hangat diperbincangkan di media massa tentang ketidakbagusannya lagi sebagian besar penduduk dalam negeri ini yang diperani berbagai elemen masyarakat digolongannya. Mulai dari tingginya tingkat kriminalitas dengan perwakilan ragam kasus yang menjerat semua golongan masyarakat dari rakyat jelata yang tua dan muda, publik figur (selebritis) sampai ke pejabat dan petinggi negara. Kejahatan ini jelas berdampak sangat buruk bagi kondisi internal negara. Uniknya, kita bukan berbenah diri tapi malah mengupas tuntas masalah ini sebagai wacana dalam negeri yang dibesar-besarkan mengesampingkan banyaknya permasalahan negeri yang semestinya lebih diprioritaskan penyelesaiannya.
Indonesia seakan membual di sila kedua Pancasila yang berbunyi kemanusiaan yang adil dan beradab. Kata adil, bukan misteri lagi bagi kita untuk mengetahui betapa jauhnya kita dari kata ini. Sulit untuk mendapatkan keadilan ini secara adil, tapi bisa saja bagi sebagian pihak dapat “mempermudah” meraih adil itu seadil yang diinginkannya. Kacau? Begitulah gambaran adilnya Indonesia yang disubjeki individu-individu yang banyak error mental dan minim berpikir untuk melakukan hal positif. Apalagi pengaharapan adil itu dikelola pula oleh badan hukum yang ‘kurang’ sehat, kondisi ini pun telak semakin memahitkan perasaan kita sebagai rakyat.
Senin, 09 Mei 2011
|
Irfan Arhamsyah Sihotang |
Kata yang mengandung makna luas secara kiasan ataupun kebenarannya, mencakup segala aspek perbincangan, dan globalisasi pun membudaya secara global. Dan pada saat ini, kita berada dalam naungan era yang juga mengandung unsur globalisasi itu sendiri.
Oleh: Irfan Arhamsyah Sihotang
Di Bumi ini sebagai tempat eksistensi kita, sedang mengalami perkembangan peradaban di titik yang sangat mengagumkan. Proses ini masih akan terus berevolusi lagi di masa depan sehingga level peradaban itu pun meningkat secara terus menerus tanpa henti hingga saatnya kehidupan terakhiri.
Perubahan telah menjadi hukum alam, bahkan perubahan pun menyandarkan keabadian selama masih ada subjek yang melakukan perubahan itu.
Ada apa dengan Globalisasi?