Reformasi.. Reformasi.. Reformasi sampai mati.
LAGU ini menjadi nyanyian pergerakan mahasiswa setidaknya sejak genderang reformasi ditabuh 13 tahun lalu. Hampir seluruh rakyat negeri ini sepakat bahwa perjuangan menumbangkan rezim penguasa saat itu murni dipelopori oleh mahasiswa yang notabenenya adalah kaum muda intelektual muda bangsa yang tidak mampu dikotak-kotakkan oleh rezim.
Unjuk rasa mahasiswa saat itu menjadi sebuah kekuatan super yang mendapat tempat di hati rakyat dan menjadikan mahasiswa “militer” kedua di negara ini setelah TNI. Peran militer di sini adalah peran mahasiswa sebagai pelindung dan penyelamat rakyat dari rezim yang semena-mena berkuasa.
Setelah rezim tumbang tak terhitung berapa banyak sudah aksi mewarnai layar kaca dan media cetak yang kita saksikan. Belum lagi setiap aksi yang tidak sempat direkam oleh tinta atau kamera. Secara umum, pergerakan mahasiswa itu seakan tidak berhenti kendati pun agenda menurunkan rezim saat itu telah berhasil. Namun, mungkin karena perjuangan baru saja dimulai hingga saat ini fenomena 1998 dalam skala kecil sering terjadi baik skala nasional maupun daerah.LAGU ini menjadi nyanyian pergerakan mahasiswa setidaknya sejak genderang reformasi ditabuh 13 tahun lalu. Hampir seluruh rakyat negeri ini sepakat bahwa perjuangan menumbangkan rezim penguasa saat itu murni dipelopori oleh mahasiswa yang notabenenya adalah kaum muda intelektual muda bangsa yang tidak mampu dikotak-kotakkan oleh rezim.
Unjuk rasa mahasiswa saat itu menjadi sebuah kekuatan super yang mendapat tempat di hati rakyat dan menjadikan mahasiswa “militer” kedua di negara ini setelah TNI. Peran militer di sini adalah peran mahasiswa sebagai pelindung dan penyelamat rakyat dari rezim yang semena-mena berkuasa.
Biasanya menjelang hari reformasi tiba, ratusan orang akan tergiring dalam satu topik mengevaluasi sejauh mana reformasi sudah berhasil dijalankan. Bila topiknya ini, maka yang terjadi adalah menyalahkan satu atau dua pihak kenapa agenda reformasi tidak berjalan dengan maksimal. Dan tak jarang pula sebagian orang akan mengatakan bahwa reformasi 1998 telah gagal total dan pemerintah kembali menjadi kambing hitam.
Namun, kali ini penulis tidak akan bercerita tentang berhasil atau tidaknya agenda reformasi yang dituntut 13 tahun lalu yang meliputi meminta rezim turun, otonomi seluas-luasnya, menghilangkan dwi fungsi ABRI, penegakan supremasi hukum, dan pemerintahan yang bersih dari KKN serta amandemen UUD 1945. Penulis ingin (katakanlah) mengevaluasi pergerakan mahasiswa pasca 13 tahun reformasi.
Dulu, selama orde baru berkuasa pemandangan unjuk rasa merupakan hal yang langka. Namun setelah 32 tahun berkuasa unjuk rasa pun menjadi bagian dari dinamika kehidupan bangsa ini. Keberhasilan menurunkan rezim Soeharto saat itu seperti menjadi moment penting untuk terus menyuarakan (katanya) suara rakyat. Bisa jadi karena rakyat juga saat itu kompak merasakan terbelenggunya kebebasan maka gerakan mahasiswa saat itu didukung oleh mayoritas rakyat negeri ini. Kini, setelah 13 tahun berlalu bagaimana kekuatan (baca: power) mahasiswa Indonesia?
Kata bijak berpesan, sesuatu menjadi mahal oleh karena jumlahnya sedikit. Pepatah ini bisa menjadi peringatan bagi pergerakan mahasiswa bahwa apa yang dilakukan terlalu banyak (baca: sering) maka bisa menjadi tidak berarti. Alhasil, demontrasi yang dilakukan sejak 13 tahun lalu yang tak terhitung lagi jumlahnya menjadi pemandangan biasa bagi bangsa ini.
Alih-alih mendapat dukungan rakyat, keberadaan mahasiswa belakangan ini justru menjadi bagian dari penderitaan rakyat. Acap kali kita saksikan setiap aksi diwarnai bentrok dengan aparat, memblokir jalan raya yang mengakibatkan terganggunya transportasi, membajak bus tangki BBM yang notabenenya untuk kepentingan rakyat dan membakar serta merusak fasilitas negara yang (lagi) dibeli dengan uang rakyat.
Muaranya, pergerakan mahasiswa yang 13 tahun lalu didukung penuh oleh rakyat kini justru mengecewakan rakyat. Tak jarang pula kita dengar, ketika mahasiswa berani mengatasnamakan rakyat, sebagian rakyat malah berkeluh “aku tak pernah merasa mewakilkan urusanku pada mahasiswa”.
Yang lebih parah lagi adalah pergerakan mahasiswa yang diharapkan murni berasal dari mahasiswa itu sendiri justru kini telah dikungkungi oleh kepentingan-kepentingan. Lihat sajalah sejarah ketika akhir 2010 pertemuan mahasiswa nusantara di Papua dihadiri dan dibuka langsung oleh presiden RI. Tidak hanya itu, beberapa lembaga mahasiswa juga telah merapatkan barisan kepada pihak-pihak yang membenci pemerintah. Pihak-pihak dimaksud tentunya punya kepentingan kelompok dan bukan kepentingan rakyat.
Setidaknya, dalam catatan penulis ada beberapa peristiwa ketika mahasiswa saat ini tidak lagi independen dalam menjalankan fungsi parlemen jalanannya. Mahasiswa yang diharapkan bisa menjaga independensinya kini telah terlibat politik praktis. Kehadiran mahasiswa dalam pertemuan-pertemuan yang dilaksanakan oleh Dewan Penyelamat Negara (DEPAN) bentukan para mantan jenderal dan politisi membuktikan bahwa mahasiswa saat ini telah berafiliasi dengan kepentingan pihak tertentu.
Bisa jadi, arah perjuangan mahasiswa yang berubah saat ini menjadikan pergerakan mahasiswa yang dilakukan lewat aksi dan demontrasi menjadi tidak berarti sama sekali. Tak terhitung sudah jumlahnya berapa kali ribuan mahasiswa tumpah ruah di Jakarta menuntut turun penguasa saat ini, namun aksi itu selesai tanpa bekas. Mungkinkah rakyat sudah tahu bahwa gerakan mahasiswa saat ini tidak bisa lagi disamakan dengan gerakan murni yang terjadi 13 tahun silam.
Kini, tak ada ubahnya mahasiswa dengan preman. Kalau pun ada bedanya mungkin hanya dari jaket almamaternya saja selain itu mereka sama-sama brutal di lapangan dan jalanan. Kelompok orang (mahasiswa) yang mengaku intelektual muda ini justru tidak terlihat intelek dilapangan.
Seorang teman pernah bergurau dengan penulis. Katanya jika kita bermain game kapan kita pakai senjata terakhir kita? Saat itu penulis jawab di saat-saat terakhir setelah semua senjata biasa dikeluarkan. Lalu sang teman bertanya lagi, apa senjata terakhir mahasiswa? Penulis jawab, senjatanya adalah jalanan (baca: demontrasi). Kalau begitu kenapa belum apa-apa dan terkadang masalah-masalah kecil mahasiswa sudah menggunakan senjata terakhirnya? Bila itu gagal mau pakai apa lagi mahasiswa mengkritisi pemerintah.
Kendati bergurau tapi gurauan itu ada benarnya. Kini, setelah 13 tahun bergerak sudah saatnya kita evaluasi apa yang harus kita lakukan sebelum kita mengeluarkan senjata terakhir kita.
Samsul Pasaribu
Penulis adalah ketua umum PB Gerakan Mahasiswa Sibolga-Indonesia (Germasi)(//rfa)
sumber : Okezone.com
No comments:
Post a Comment