Rabu, 11 Mei 2011
Keprihatinan melanda negeri ini, kerusakan di sektor filterisasinya membuat pengaruh budaya luar merubah paradigma dan pola fikir masyarakat dalam negeri terhadap budayanya sendiri. Pergeseran nilai ini mengakibatkan Indonesia dilanda krisis moral dengan maraknya
Oleh: Irfan Arhamsyah Sihotang
Hangat diperbincangkan di media massa tentang ketidakbagusannya lagi sebagian besar penduduk dalam negeri ini yang diperani berbagai elemen masyarakat digolongannya. Mulai dari tingginya tingkat kriminalitas dengan perwakilan ragam kasus yang menjerat semua golongan masyarakat dari rakyat jelata yang tua dan muda, publik figur (selebritis) sampai ke pejabat dan petinggi negara. Kejahatan ini jelas berdampak sangat buruk bagi kondisi internal negara. Uniknya, kita bukan berbenah diri tapi malah mengupas tuntas masalah ini sebagai wacana dalam negeri yang dibesar-besarkan mengesampingkan banyaknya permasalahan negeri yang semestinya lebih diprioritaskan penyelesaiannya.
Indonesia seakan membual di sila kedua Pancasila yang berbunyi kemanusiaan yang adil dan beradab. Kata adil, bukan misteri lagi bagi kita untuk mengetahui betapa jauhnya kita dari kata ini. Sulit untuk mendapatkan keadilan ini secara adil, tapi bisa saja bagi sebagian pihak dapat “mempermudah” meraih adil itu seadil yang diinginkannya. Kacau? Begitulah gambaran adilnya Indonesia yang disubjeki individu-individu yang banyak error mental dan minim berpikir untuk melakukan hal positif. Apalagi pengaharapan adil itu dikelola pula oleh badan hukum yang ‘kurang’ sehat, kondisi ini pun telak semakin memahitkan perasaan kita sebagai rakyat.
Belum lepas dari sila kedua, satu lagi kata kuncinya adalah Beradab. Adanya kemanusiaan yang beradab di Indonesia. Kita memperkenalkan diri sebagai bangsa yang ramah, bertutur bahasa lembut, budi pekerti yang baik, sopan santun dan beretika. Jika kita memang menghargai pancasila sebagai ideologi negera Indonesia, mungkin wajar kita mengatakan diri kita (Indonesia) “pengkhianat”. Karena salah satu kaidah dalam pancasila itu sudah banyak yang melanggarnya. Budaya Indonesia yang kita kenalkan tadi sedang dalam proses transisi ke budaya asing. Banyak paham dari bangsa asing yang kita konsumsi dalam rangka gaya hidup global bermasyarakat hingga berimbas kepada kehancuran moral bangsa. Mulai dari skandal pornograpi dan pornoaksi, krimalitas, aksi demonstrsi dengan demo kekerasan, terorisme, pelecehan dan penistaan terhadap agama, hingga sampai ke masalah serius dalam siklus keburukan ini yaitu lahirnya budaya korupsi, kolusi dan nepotisme yang mewabah diatas tanah air tercinta ini. Dan semua ini dirangkum dalam kategori besar, Krisis Moral Indonesia.Oleh: Irfan Arhamsyah Sihotang
Hangat diperbincangkan di media massa tentang ketidakbagusannya lagi sebagian besar penduduk dalam negeri ini yang diperani berbagai elemen masyarakat digolongannya. Mulai dari tingginya tingkat kriminalitas dengan perwakilan ragam kasus yang menjerat semua golongan masyarakat dari rakyat jelata yang tua dan muda, publik figur (selebritis) sampai ke pejabat dan petinggi negara. Kejahatan ini jelas berdampak sangat buruk bagi kondisi internal negara. Uniknya, kita bukan berbenah diri tapi malah mengupas tuntas masalah ini sebagai wacana dalam negeri yang dibesar-besarkan mengesampingkan banyaknya permasalahan negeri yang semestinya lebih diprioritaskan penyelesaiannya.
Indonesia seakan membual di sila kedua Pancasila yang berbunyi kemanusiaan yang adil dan beradab. Kata adil, bukan misteri lagi bagi kita untuk mengetahui betapa jauhnya kita dari kata ini. Sulit untuk mendapatkan keadilan ini secara adil, tapi bisa saja bagi sebagian pihak dapat “mempermudah” meraih adil itu seadil yang diinginkannya. Kacau? Begitulah gambaran adilnya Indonesia yang disubjeki individu-individu yang banyak error mental dan minim berpikir untuk melakukan hal positif. Apalagi pengaharapan adil itu dikelola pula oleh badan hukum yang ‘kurang’ sehat, kondisi ini pun telak semakin memahitkan perasaan kita sebagai rakyat.
Permasalahan yang tumbuh kokoh berbelit dengan banyaknya cabang, ranting dan juga telah berbuah kehancuran ini dengan rindangnya menaungi negara Indonesia. Banyak hal yang bisa dijadikan alasan dasar penyebab permasalahan ini, beberapa faktor yang menjadi tersangka mungkin efek negatif globalisasi, pengaruh budaya asing, tidak terpolanya kehidupan modern di Indonesia, tingkat kecerdasan yang minim, pemahaman yang salah, dan banyak lagi alasan argumentatatif yang bisa kita kemukakan atas permasalahan krisis moral ini. Tapi, alasan bukan jawaban yang tepat untuk menyelesaikan masalah. Analisis yang cerdas kemudian memproduksi solusi tepat akurat dalam pengambilan kebijakan dan pelaksanaan pengeksekusianlah yang kita harapkan
Secara historis, kita mengakarkan tumbuhnya krisis moral di Indonesia adalah bersumber dari tidak baiknya penyerapan anak bangsa terhadap pengertian, pelaksanaan, manfaat dan cara beretika (bersikap) di waktu kecil. Kurangnya bimbingan orang tua dalam mendidik anaknya untuk beretika baik dalam bersikap dan kurang memberi motivasi kepada anaknya untuk berprilaku lebih bermoral adalah dasar dari kegoyahan mental anak itu di masa remajanya. Kesalahan mendasar itu pun dilengkapi dengan tidak maksimalnya peran sang guru dalam mempredikati wali orang tua di sekolah.
Jika kita ingin merubah kembali keadaan yang buruk ini, kita harus menghancurkan sistem yang sudah mengelolanya. Kita rusak awal dari siklus kerusakan ini secara tepat dan akurat dan itu tertuju pada perbaikan tunas baru generasi bangsa Indonesia.
Intinya adalah memperbaiki moral anak bangsa terkhusus kepada anak bangsa yang beranjak dewasa. Jika bekal moral anak anak itu kuat dan terdoktin secara fanatik akan nilai-nilai positif pancasila, etika, hukum dan budaya Indonesia pasti krisis moral ini dapat dihentikan. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN), seharusnya adalah kompetensi yang lebih difokuskan kepada siswa/siswi dalam pembelajaran di tingkat Sekolah Dasar agar pencapaian perbaikan moral dari dasar generasi itu efektif dilakuan. Materi pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan adalah media yang tepat dalam penanaman nilai-nilai moral secara dini, akan lebih bermanfaat dari pelajaran produktif seperti Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan lain sebagainya yang notabene di tingkat SMP atau SMA juga dikembangkan secara mendalam. Apa gunanya anak bangsa pintar dalam pelajaran yang produktif tapi secara moral dia goyah, mungkin kepintaran produktif tadi akan disalahgunakan nantinya karena tak terajarkan untuk beretika, kan lebih bagusnya kita fokus membenahi sisi psikologisnya terhadap kebaikan terlebih dahulu baru mengajarkan mereka untuk berkompetensi? bukan sebaliknya. (***)
Penulis Adalah Konselor Pusat Informasi Dan Konsultasi Remaja Sahati
Kota Sibolga dan aktivis gerakan mahasiswa Sibolga-Indonesia (Germasi)
Sumber: telah terbit di harian Metro Tapanuli edisi Rabu, 11 Mei 2011
No comments:
Post a Comment