Oleh : Samsul Pasaribu*
“memajukan sepak bola tidak semata-mata untuk kepentingan PSSI tapi juga kepentingan bangsa dan negara” setidaknya kalimat ini accap kali di ucapkan berulang-ulang oleh segelintir orang yang mengaku peduli sepak bola. Entah itu jenderal, pengusaha, penguasa, ekonom, politisi, budayawan, olahragawan, hartawan hingga rakyat jelata, semua sudah sepakat bahwa bola tidak hanya milik PSSI tapi sudah menyatu dalam darah dan daging ratusan juta rakyat negeri ini.
Tapi benarkah itu semua? Jawabannya, bohong!. Kalimat diatas hanya sebatas slogan yang layak dijual untuk mengambil hati pemilik suara, dan bila itu tidak tercapai maka, egoisme, individualisme dan terlalu memaksakan kehendak menjadi dominan dalam menjebolkan kepentingan yang bersangkutan. Kebohongan lainnya yang nyata-nyata kita saksikan dengan mata dan kepala kita sendiri adalah, tokoh yang mengaku peduli sepak bola ini justru sedang mengorbankan olahraga ini untuk kepentingan satu dua orang. Tegasnya, untuk harga diri seorang jenderal yang bernama George Toisutta dan seorang pengusaha Arifin Panigoro. Tokoh ini menjadikan kata keadilan sebagai senjata perang paling ampuh untuk memuluskan jalannya tanpa mempertimbangkan masa depan sepak bola nasional untuk lima dan sepuluh tahun yang akan datang.
Lucunya lagi, tokoh ini mengaku paling cinta sepak bola dan dari latar belakangnya wajar bila kita menilai mereka adalah orang yang begitu mencintai Indonesia. Tapi, belakangan ini penulis punya asumsi bahwa kepedulian, nasionalisme dan kecintaan itu hanya berlaku selama kepentingan pribadi dan golongan yang bersangkutan tidak terusik. Mungkin, pesan pepatah yang berbunyi “semut saja kalau di injak akan menggigit” begitu mengilhami tokoh ini. Sehingga status sebagai orang yang (katanya) di zolimi oleh FIFA harus di bela seadil-adilnya dan apa yang menjadi haknya harus diberikan. Upaya ini tentu ada benarnya karena sejatinya memang demikianlah halnya. Tetapi andai untuk meraih itu ada sebuah harga yang dibayar begitu mahal dan akan mengecewakan ratusan juta rakyat negeri ini maka, andai keadilan yang diharapkan oleh George Toisutta dan Arifin Panigoro bisa diraih maka ketidak adilan akan dirasakan oleh sepak bola nasional dan pecintanya oleh karena hak-haknya di cabut oleh federasi sepak bola dunia yang bernama FIFA.
Penulis yakin sekali andai dua tokoh ini ditanya apakah untuk berbakti di sepak bola harus menjadi ketua umum PSSI dan bukankah banyak jalan memajukan sepak bola? Mereka akan menjawab, ya, menjadi ketua umum hanya satu dari sekian banyak jalan untuk memajukan sepak bola secara langsung. Tapi sayang, kendati menyadari itu kedua tokoh ini malah tetap ngotot untuk meloloskan hasratnya dan mengorbankan masa depan sepak bola Indonesia. Coba lihat, bagaimana perasaan tak berdosa para pendukung para tokoh ini menuding dan berusaha melempar batu sembunyi tangan. Terhentinya kongres PSSI 20 Mei lalu justru dijadikan sebagai kesalahan fatal ketua umum KN PSSI Agum Gumilar. Kelompok ini juga mencoba membersihkan diri dengan memutar balik keadaan bahwa tidak ada kerusuhan dalam kongres lalu oleh karena tidak ada gesekan, pemukulan dan bla-bla-bla. Tapi mereka lupa, rakyat ini tidak bodoh. Layar kaca dan sikap mengalah dan menahan diri Agum Gumilar nyata-nyata memvisualisasikan pada kita betapa Kongres 20 Mei lalu begitu menjengkelkan, menjijikkan dan memalukan.
Oh ya, pemandangan kongres lalu mungkin hanya dijadikan ajang menunjukkan eksistensi diri. Merasa paling benar dan mumpung sedang didaulat sebagai pemilik suara yang sah yang paling berhak pula mengatur dan menentukan segalanya dalam kongres (apalagi disiarkan langsung oleh salah satu TV swasta nasional) maka upaya menonjolkan diri menjadi sangat dominan. (Mungkin) pasca kongres dihentikan, oknum-oknum ini dengan bangga menceritakan kehebatannya pada orang lain. Hebat karena mampu menggagalkan pesta demokrasi sepak bola nasional yang kebetulan menjadi perhatian dunia. Tapi sayangnya mereka tidak sadar bahwa setiap omongan, retorika, keangkuhan, kehebatan pribadi yang ia tonjolkan dalam kongres ternyata tidak berarti apa-apa dan menjadi mentah hanya dengan dua ketokan palu seorang Agum Gumilar. Orang-orang hebat itu justru menjadi kerdil hanya dengan kalimat “dengan ucapan alhamdulillah dan mohon maaf kepada seluruh rakyat Indonesia kongres PSSI saya nyatakan dihentikan”. Setelah itu tokoh-tokoh itu tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Mungkin kalimat itu membuat mereka tertawa geli dan senyum-senyum simpul. Tapi sayang hanya sebatas tawa dan senyum tanpa sebuah kesadaran bahwa ternyata Agum Gumilarlah yang hebat pada saat itu.
Kini, egoisme, keras hati, individual dan memaksakan kehendak telah memberi bangsa ini kenyataan pahit. Kenyataan pahit menunggu sanksi dari FIFA. Tentu kita berharap itu tidak terjadi. Oleh karena itu, untuk bapak George Toisutta, bapak Arifin Panigoro dan kelompok 78, sudahlah! Untuk sepak bola kita kuburlah hasrat bapak-bapak yang mulia untuk maju sebagai ketum PSSI. Bila bapak memang peduli sepak bola kita, mungkin Tuhan ingin membuktikan pada kami bahwa sikap mengalah bapak adalah bukti kepedulian yang luar biasa pada sepak bola kita. Minta maaflah pada rakyat negeri ini dan pada FIFA. Mudah-mudahan langkah itu bisa melembutkan hati FIFA sehingga sanksi tak pernah menimpa negeri ini. Semoga
Penulis adalah ketua umum PB Gerakan Mahasiswa Sibolga-Indonesia dan putra bangsa yang miris hatinya melihat kondisi sepak bola nasional serta berupaya menyampaikan kekecewaannya.
Sumber : telah terbit di Harian Metro Tapanuli Edisi Rabu, 25 Mei 2011
No comments:
Post a Comment