Jakarta - Semprot sana-semprot sini. Coret sana coret sini menjadi pemandangan biasa setiap ujian nasional berakhir. Budaya yang katanya menjadi kenang-kenangan ini ternyata bohong belaka. Buktinya baju seragam yang dicoret nyatanya berubah menjadi kain pembersih.
Alih-alih dijadikan kenang-kenangan masa-masa SMA, baju bersejarah yang telah mengantarkan pemiliknya menjadi intelektual muda justru musna tanpa manfaat yang berarti.
Celakanya lagi, ketika semua pihak menyadari budaya ini merusak citra pendidikan, mereka justru tidak punya solusi handal meminimalisir penyakit akhir tahun ajaran ini. Alhasil, setiap tahun tak terhitung berapa ratus ribu potong baju yang dicoret sia-sia oleh para pelajar diseluruh Indonesia.Alih-alih dijadikan kenang-kenangan masa-masa SMA, baju bersejarah yang telah mengantarkan pemiliknya menjadi intelektual muda justru musna tanpa manfaat yang berarti.
Pertanyaan besarnya saat ini adalah benarkah tidak ada solusi untuk hal ini? Jawaban normatifnya adalah dimana ada kemauan disitu ada jalan. Dengan kata lain, andai institusi pendidikan kita benar-benar menganggap budaya ini sesuatu yang harus dikikis habis sejatinya mereka harus memikirkan dengan sungguh-sungguh solusi untuk masalah ini.
Namun, oleh karena pola pikir dimana guru tidak lagi bertanggungjawab dengan apa yang dilakukan siswa pasca keluar dari sekolah maka banyak sekolah yang lepas tangan untuk memikirkan tradisi corat coret ini. Bahkan institusi setingkat dinas pendidikan didaerah pun terkesan mengabaikan perilaku tak terpuji ini membudaya dikalangan pelajar Indonesia.
Bila kita bertanya apakah upaya yang sudah dilakukan untuk mencegah terjadinya corat-coret baju seragam pasca UN, dengan bangga kepala dinas pendidikan terkait akan menjawab "kita sudah surati semua sekolah untuk melarang siswa melakukan budaya buruk ini".
Bayangkan saja, tradisi yang sudah berlangsung puluhan tahun ini ingin dihentikan dengan selembar surat dinas pendidikan. Surat yang hanya sebatas memerintahkan tanpa ada langkah kongkrit dilapangan.
Sebahagian sekolah lain melakukan ancaman bagi siswa yang melanggar, tapi alih-alih memberi sanksi, pasca UN pelajar dimaksud justru tidak punya hubungan sama sekali dengan sekolah selain menunggu pengumuman UN lulus atau tidak.
Lagi pula akan sangat tidak manusiawi pula bila seorang siswa ditahan izajahnya atau didenda atau dipejarakan hanya karena mencoret baju pasca UN.
Melihat akar permasalahannya ada pada mental para pelajar itu sendiri maka perlu ada satu sistem yang memaksa para pelajar tidak melakukan lagi tradisi ini. Sistem itu tidak semata-mata sebatas mengingatkan dan menasehati tetapi perlu siasat jitu dari para stakeholder pendidikan kita sehingga budaya coret baju ini bisa dikikis habis.
Siasat jitu dimaksud bisa dilakukan melalui pemanfaatan teknologi yang ada saat ini. Tradisinya, para pelajar melakukan coret seragam sesaat setelah pengumuman UN. Oleh karena itu akan lebih baik bila pengumuman UN itu sendiri tidak dilakukan disekolah dan tidak perlu dihadiri oleh orangtua dan siswa.
Pengumuman cukup dilakukan melalui situs resmi sekolah sehingga para pelajar cukup melihat pengumuman kelulusan itu melalui internet. Ini menjadi efektif karena sekolah tidak perlu disibukkan dengan pengamana ekstra ketat dari aparat kepolisian atau menata ruangan si rapi mungkin untuk menerima orangtua siswa saat pengumuman.
Pemanfaatan teknologi untuk menekat tindakan tidak terpuji corat coret seragam ini cukup efektif diberlakukan. Setidaknya itu telah terbukti di SMA 1 Mataram NTB, dimana orangtua dan siswa dilarang datang kesekolah saat pengumuman UN.
Karena pihak sekaolah mengumumkannya langsung melalui koran, radio dan situs resmi sekolah. Disamping lebih mudah, metode in i juga semakin mengakrabkan siswa dengan IT.
*Penulis adalah penggiat masalah-masalah sosial pendidikan nasional.
Sumber : Detik Com
No comments:
Post a Comment